Pembicaraan tentang pesantren, sampai kapanpun akan selalu menarik. Bukan hanya persoalan sistem dan kehidupan yang dijalankan di dalamnya, melainkan sebuah kenyataan, bahwa pesantren terlahir dari rahim masyarakat dan sejarah, yang memiliki karakteristik berlainan dan unik terkait dengan sosio-politik, sosio-kultural, sosio-ekonomi, maupun sosio-religius.
Mungkin akan membutuhkan ratusan atau bahkan ribuan lembar untuk mengurai sejarah pesantren di Indonesia yang bermula sejak beberapa abad yang lalu. Namun, semua sudah maklum bahwa pesantren telah tercatat dengan tinta emas dalam perjalanan sejarah bangsa ini. Bahkan hingga kini, banyak tokoh-tokoh nasional yang berasal dari Pesantren sehingga sumbangsih yang sedari dulu diberikan tetap berlangsung hingga sekarang dan masa-masa yang akan datang.
Dalam konteks sejarah perkembangannya pesantren tidak akan pernah lepas dari kontroversi antara yang mendukung dan bertentangan. Kedua belah pihak tentu mempunyai pertimbangan dan alasan masing-masing untuk mendukung pendapatnya sesuai dengan objektivitas, bahkan subjektivitas, yang dimilikinya.
Namun, terlepas dari berbagai pro-kontra yang mengelilinginya, akan lebih bijak ketika pembicaraan tentang pesantren harus lebih mengarah pada bagaimana pesantren agar tetap maju dan berkembang serta bisa menghadapi tantangan zaman global ini. Tidak etis rasanya ketika hanya melihat pesantren dari sisi sebagaimana pendapat yang pro, dan kurang bijak juga ketika menempatkan pesantren pada “tempat suci” yang sakral. Dalam konteks inilah, kritik terhadap pesantren menjadi penting, dan “ijtihad” untuk memajukan pesantren menjadi sebuah keniscayaan. Ini pada satu sisi.
Di sisi yang lain, harus diakui, bahwa zaman semakin maju. Hantaman globalisasi yang sangat dahsyat melahirkan paham-paham baru yang diusung oleh bangsa barat melalui propaganda yang menarik. Pendidikan pesantren pun menjadi korban. Ia dianggap “kolot”, tidak prospek, dan “ketinggalan”. Problem ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan) antara keilmuan pesantren dengan dunia modern.
Sehingga terkadang lulusan pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan kepada masalah-masalah globalisasi dengan tanggung jawab yang tidak ringan.
Maka, pesantren pun mulai “terganggu” dan keberadaannya mulai dipertanyakan. Orang-orang yang dulu menjadikan pesantren sebagai pilihan, kini mulai berpaling. Bahkan mungkin, setiap tahun jumlah siswa yang menjatuhkan pilihan untuk nyantri semakin berkurang. Ini mungkin terlalu sebjektif, tapi harus diakui juga bahwa hal ini terjadi di banyak pesantren.
(Menjaga Konsistensi) Pesantren; Motivasi Dan Orientasi
Kenapa ini terjadi? Kenapa pesantren seperti ditinggalkan dan “tidak layak jual”? Kenapa dengan sistem pendidikan pesantren?
Setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan untuk menjawab beberapa pertanyaan tersebut;
Pertama, motivasi. Dalam dunia pendidikan, bahkan dalam hal apa saja, motivasi adalah hal yang penting. Hoyt dan Miskel mendefinisikan motivasi sebagai kekuatan-kekuatan yang komplek, dorongan-dorongan, kebutuhan-kebutuhan, pernyataan-pernyataan ketegangan, atau mekanisme lainnya yang memulai dan menjaga kegiatan-kegiatan yang diinginkan ke arah pencapaian tujuan-tujuan personal. Namun diantara banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli, dapat disimpulkan, bahwa motivasi memiliki tiga komponen penting; menggerakkan, mengarahkan, dan menopang.
Motivasi menjadi salah satu syarat bagi siapa pun yang ingin berhasil dalam hidupnya, termasuk dalam hal pendidikan. Motivasi adalah roh yang mampu mencipratkan spirit dalam bekerja ataupun belajar. Maka, seseorang mestinya mempunyai motivasi yang benar dalam menjatuhkan pilihannya terhadap pondok pesantren.
Hanya saja, kita menemukan banyak fakta, bahwa ternyata banyak santri yang justru masuk ke pesantren bukan hanya mengusung motivasi yang rendah, tapi bahkan dengan tanpa motivasi. Bagaimana tidak? mereka hanya menjadi korban dari orang tua yang begitu ingin memasukkannya ke pesantren dengan alasan “lebih aman” dan murah meriah. Sehingga, praktis dalam kesehariannya, apa yang mereka lakukan di pesantren tidak terlalu berarti karena akan selalu dikalahkan dengan perasaan tidak kerasan yang sulit untuk dihilangkan.
Bahkan dalam beberapa kasus, mereka justru menjadi “pengganggu” dan sering melanggar terhadap peraturan pesantren karena dibalik lubuk hatinya, ia merasa bukan masuk pesantren, melainkan dijebloskan!. Tentu motivasi yang diusung akan berbeda, sehingga hasilnya pun tidak akan sama dibandingkan dengan santri yang mempunyai motivasi dan tujuan yang jelas. Ini secara internal.
Secara eksternal, motivasi untuk belajar di pesantren menemukan “dukungan” ketika melihat realitas, bahwa kehidupan di pesantren tidak lagi menyenangkan, baik dari tempat, fasilitas, sarana prasarana, dan sistem pendidikan yang diterapkan. Belum lagi ditambah dengan peraturan super ketat dengan bayang-bayang hukuman-hukuman yang menakutkan.
Kedua, orientasi pesantren. Saat ini permasalahan yang dihadapi dalam hidup semakin komplek dan rumit. Diperlukan banyak hal dan perbuatan konkrit untuk menyelesaikannya. Problema ini setidaknya harus disadari sebagai sebuah moment bagi pesantren untuk menata diri dengan mempunyai orientasi yang jelas dan berbeda. Mastuhu mengatakan: “perubahan nilai pesantren menuju orientasi pemikiran yang lebih mendunia, induktif, empiris, dan rasional, mengimbangi corak pemikiran yang deduktif-dogmatis sebagaimana selama ini mendominasi pola pemikiran pesantren.
Tanda-tanda tersebut antara lain tampak bahwa santri memerlukan ijazah untuk ke sekolah formal yang lebih tinggi”. Tidak hanya itu, Mastuhu bahkan menasihatkan, bahwa “pergeseran nilai-nilai tersebut menuntut kepada pesantren untuk melakukan reorientasi tata nilai dan tata laksana penyelenggaraan pesantren untuk mencari bentuk baru yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan islam.”
Kita semua paham, bahwa sampai kapanpun, pesantren akan tetap mempunyai orientasi tafaqquh fi al-din, dan ini tidak bisa diganggu gugat. Sama sekali tidak!. Hanya saja, kita harus paham juga bahwa ada banyak hal yang tidak cukup mampu dijawab hanya dengan kajian yang selama ini ada di pesantren. Dan permasalahan yang dihadapi tidak cukup hanya dengan tahlil dan istighasah. Untuk itulah santri seharusnya mulai dibekali dengan kemampuan lain yang memungkinkan mereka untuk survive pasca menjadi alumni.
Mungkin sebuah kebanggaan jika alumni sebuah pesantren juga menjadi seorang kiai, tapi dari alumni yang sekian banyak itu, yang tidak jadi kiai berapa? Yang jadi kuli berapa? Yang jadi tukang ojek berapa? Yang nganggur berapa?. Mungkin ini tidak penting karena mau menjadi apapun mereka yang penting masih bisa menerapkan nilai-nilai keislaman yang diajarkan pesantren. Ini memang benar, tapi pesantren sudah seharusnya melepaskan dari egosentrisme semacam ini.
Diakui atau tidak, hal ini juga yang menjadi penyebab kurangnya minat banyak orang untuk mengenyam pendidikan di pesantren karena mereka berpikir bahwa pesantren tidak memberikan life skill yang memadai untuk membuatnya mampu bersaing. Dan barangkali hal ini juga yang menyebabkan ada sebagian orang yang merasa lebih betah di pesantren daripada mereka pulang ke rumah.
Karena jika ia pulang, ia akan menanggung tanggung jawab sosial, sementara ia tidak mempunyai kemampuan selain kemampuan yang sudah begitu banyak dimiliki oleh orang lain. Itu artinya, ia memiliki kemungkinan kecil untuk memberikan kontribusi besar.
Seharusnya juga, pesantren tidak lagi (meminjam istilah Mujammil Qomar) melakukan “uzlah”, melainkan berusaha untuk mengimbangi dan memberikan kesan yang baik terhadap institusi lain. Masuknya pengetahuan umum serta pemberian berbagai macam keterampilan kepada para santrinya mungkin menjadi sebuah angin segar bagi pesantren dan menunjukkan adanya orientasi baru jika dilihat dari segi strategi menajemennya.
Kenyaan ini seperti memberikan sebuah penyadaran pada kita, bahwa sudah seharusnya remotivasi dan reorientasi pesantren mendapatkan tempat untuk direvitalisasi. Sebab ketidakbisaan untuk melakukan kedua hal tersebut, menjadikan konsistensi pesantren sebagai lembaga yang (akan) mencetak generasi bangsa yang unggul, hebat, dan berprestasi dalam berbagai bidang mengalami penurunan, dan jika terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pesantren hanya menjadi catatan (manis) sejarah belaka. Padahal, harapan masyarakat terhadap pesantren sungguhlah sangat besar.
Remotivasi bisa dilakukan dengan upaya untuk membuat pesantren sebagai tempat yang menyenangkan, kreatif, dan produktif. Remotivasi terbaik hanya akan tercipta ketika pesantren bisa membuat para santri merasa nyaman tinggal di pesantren dengan masa depan yang lebih jelas dan pesantren tidak henti-hentinya melahirkan generasi yang membuat siapapun sadar, bahwa pesantren juga melahirkan insan-insan prestisius dan berhasil dalam membangun karir. Situasi seperti ini akan menciptakan rasa bangga, yang pada akhirnya mampu melecut motivasi santri lainnya.
Sementara itu, reorientasi lebih menekankan pada bagaimana kualitas lulusan yang dihasilkan terkait dengan intelektualitas, moral, religius, dan berbagai keahlian dan keterampilan lainnya yang memungkinkan mereka mampu “berbicara lebih” di dunia luar. Keberhasilan dalam menggariskan orientasi yang jelas ini juga akan mampu meningkatkan motivasi santri untuk menjadi lulusan yang mempunyai daya saing global, tentu saja dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang sudah menjadi dasar dan ciri khas pesantren.
Namun, harus disadari juga, terciptanya lulusan pesantren yang mempunyai kompetensi dalam berbagai bidang tidak hanya bergantung pada faktor internal saja, dalam hal ini pesantren, namun terdapat juga factor eksternal, yakni masyarakat dan Negara. Maka, karena pesantren adalah milik bersama dan terlahir dari rahim masyarakat, keberhasilan pesantren juga menjadi tanggung jawab bersama.
Menajamkan Kembali Pisau Pendidikan Pesantren
Keberhasilan untuk menjadi lembaga pendidikan islam yang tetap istiqamah melahirkan generasi yang kompeten dalam berbagai bidang tentu bukan hal yang mudah apalagi ketika sampai saat ini pesantren masih belum sepenuhnya lepas dari stigma “kurang menyenangkan” khususnya sistem pendidikan yang diasumsikan selalu berada di belakang sistem lembaga lainnya.
Dulu, semua orang sepakat tentang peran vital pesantren dalam perjuangan kemerdekaan, tapi sekarang pisau tajam itu sepertinya perlu ditajamkan kembali agar mampu menjadi senjata ampuh untuk bergulat dengan globalisasi dan modernisasi. Sistem pendidikan harus selalu dikembangkan untuk menemukan format terbaik sehingga mampu menghasilkan santri-santri yang ready to use.
Dalam konteks ini, ada beberapa faktor yang berperang penting dalam memajukan pendidikan di pesantren sehingga tetap mampu menjaga “sejarah manis” sebagai penghasil manusia-manusia berkualitas dan mempunyai kompetensi tinggi dalam berbagai bidang.
Pemerintah. Eksistensi pesantren tidak bisa dilepaskan dari peran negara. AM Fatwa mengatakan, negara sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian negara bagi perkembangan pesantren sangat diperlukan. Untuk itulah sudah seharusnya antara pemerintah dan pesantren harus lebih meningkatkan kerjasama dalam frame simbiosis mutualisme.
Peran pemerintah akan menemukan tempatnya, setidaknya dalam beberapa hal; 1) Regulasi dan perundang-undangan, 2) Pemberian bantuan dana, 3) Pemberian beasiswa, 4) penyedian dan batuan lapangan pekerjaan, 5) pelatihan dan pengembangan tingkat lanjut dalam bidang tertentu, seperti perekonomian, pertanian, peternakan, teknologi, dan lain sebagainya, 6) bantuan guru atau tenaga pendidik yang profesional serta perlengkapan, sarana, dan fasilitas penunjang dalam pendidikan.
Pesantren memang terlahir dari swadaya masyarakat dan menjadi lembaga yang mandiri karenanya, tapi alangkah lebih baiknya dan akan lebih maksimal apabila dikelola dengan pendanaan dan pembinaan yang lebih memadai. Apalagi saat ini pesantren mulai menyesuaikan diri dengan pendidikan umum dan standar pendidikan nasional, termasuk mendirikan sekolah umum.
Di sisi lain, pesantren harus terbuka dengan perkembangan yang ada. Menggunakan istilah yang digunakan Mujamil Qomar, pesantren harus berani melakukan transformasi, utamanya dalam hal sistem pendidikan. Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauhmana pesantren menformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya.
Sejatinya sistem pendidikan pesantren memiliki sistem pendidikan sendiri yang independen. Namun seiring dengan perkembangan zaman, pesantren mulai sadar untuk memodernkan sistem yang ada dengan mempertahankan yang sudah bagus sebelumnya. Kesadaran ini akhirnya berimplikasi pada lahirnya terobosan baru dalam dunia pendidikan pesantren untuk mengintegrasikan antara keilmuan berciri khas keislaman dengan keilmuan umum.
Hal inilah yang oleh Mujammil Qomar disebut sebagai sebuah pembaharuan. Bahkan menurutnya, lahirnya madrasah adalah pembaharuan sistem pendidikan pesantren, sekolah umum sebagai pemantapan pembaharuan, dan perguruan tinggi sebagai penyempurnaan pembaharuan.
Membicarakan sistem pendidikan pesantren, tentu tidak akan pernah lepas dari kurikulum, guru, dan metode penyampainnya. Kurikulum pesantren juga mengalami transformasi, dari materi yang hanya “bernafaskan islam” menuju materi yang meliputi sosial, eksakta, bahkan pendidikan kewarganegaraan dan mata pelajaran lainnya yang selama beberapa tahun lamanya dianggap “aneh” dan “sia-sia”. Mata pelajaran tersebut setidaknya menjadi indikasi penting kemajuan pendidikan di pesantren karena menjadi manifestasi bagi para santri di masa yang akan datang, terlebih jika menginginkan untuk mengembangkannya di tingkat yang lebih tinggi.
Guru dan metode yang digunakan di pesantren juga mengalami transformasi. Saat ini, pengajar di pesantren tidak hanya mengandalkan “orang dalam” alias para ustadz semata, tapi untuk mata pelajaran tertentu, pesantren bahkan rela mengeluarkan biaya untuk menggaji guru yang ahli di bidangnya. Ini merupakan fenomena luar biasa dan menunjukkan kesadaran akan pentingnya pengetahuan dan teknologi.
Sementara itu, terkait dengan metode, pesantren tidak hanya menggunakan sistem lama seperti sorogan, wetonan, dan metode klasikan lainnya. Tapi, pada tahun 1959 sudah memutuskan untuk menggunakan metode; Tanya-jawab (dialogis), karya wisata, problem solving, habituasi, dramatisasi, reinforcement, stimulus-respon, modul, dan lain sebagainya.
Maka, sejatinya perkembangan sistem pendidikan di pesantren sudah dimulai dan sedang berlangsung untuk menemukan format terbaik demi menghasilkan lulusan yang benar-benar bisa dipertanggung-jawabkan. Satu kata kunci yang kemudian menjadi penting dalam pelaksanaan sistem pendidikan pesantren adalah; optimalisasi.
Optimalisasi, dalam hal ini terkait dengan pelaksanaan sistem pendidikan, (di madrasah, di sekolah umum, atau di perguruan tinggi) baik yang berupa metode, fasilitas, guru atau ustad, kurikulum, dan lainnya. Proses integrasi sistem yang diambil harus sepenuhnya dijalankan jika yang dipilih adalah sistem khalafi. Sedangkan untuk sistem salafi harus dibarengi dengan pemberian kemampuan-kemampuan yang tidak sepenuhnya harus diformalkan, berupa kursus, pelatihan, dan lain sebagainya.
Apapun sistem pendidikan yang digunakan di pesantren, tidak akan menemukan hasil seperti yang diharapkan kecuali melakukan semua konsep dan sistem yang sudah dibangun seoptimal mungkin. Artinya, remotivasi dan reorientasi menuju pesantren yang selalu “menjadi penerus” pencetak generasi yang handal dan unggul tidak akan mampu jika tidak dilakukan dengan usaha yang optimal sehingga menyebabkan pesantren berada di tengah persimpangan, gamang, dan dilematis.
Satu sisi pesantren harus maju dan berkembang, tapi di sisi lain harus mempertahankan khittah sebagai lembaga pendidikan dengan nilai-nilai yagng khas.
Untuk itulah, dalam rangka optimalisasi ini, semua elemen harus saling bersinergi dan duduk bersama untuk menemukan solusi terbaik. Pemerintah harus siap membantu dan memberdayakan (bukan “menjual”) pesantren, dan pesantren, melalui kepemimpinan seorang kiai maupun yayasan harus peka terhadap kebutuhan masyarakat dan tuntutan zaman dengan tetap menjaga nilai-nilai prinsipil yang menjadi acuan di masing-masing pesantren. Sehingga, semua elemen bisa bekerja secara optimal untuk meneruskan cita-cita pesantren sebagai lembaga unik dan kreatif yang mempunyai kontribusi besar terhadap Negara; dulu, kini, hingga nanti.
Maka, pendidikan sebagai pisau penting yang dimiliki pesantren dalam menjaga survivalitasnya, harus tetap terjaga untuk agar selalu tajam dan mengkilat. Artinya, pendidikan pesantren harus selalu rajin berbenah diri agar tidak dicap sebagai lembaga yang “kolot” dan “selalu tertinggal” dalam persaingan, dan pesantren tidak hanya dikonotasikan dengan “tahlil” dan “istighasah” atau sebagaimana dikatakan Clifford Geertz, hanya berkutat pada “kuburan” dan “ganjaran”.
Menjaga dan Memperluas “Kejayaan”; Sebuah Epilog
Sesuatu yang baik memang harus dijaga, dan sesuatu yang lebih baik juga harus menjadi pertimbangan untuk diambil. Yang terakhir ini yang sering terlupakan karena kebanyakan pesantren merasa cukup puas dengan apa yang sudah ada dengan melanjutkan tradisi yang sudah turun temurun. Ini tentu saja menafikan adanya perkembangan, karena qoidah itu mengajarkan untuk terbuka.
Dalam kerangka teoritis, kita tahu bahwa paradigma itu melahirkan teori yang digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, dan ketika teori yang ada tidak mampu menjawab permasalahan yang berkembang, maka salah satu jalan yang mestinya ditempuh adalah dengan merubah paradigma.
Untuk itulah pesantren memang dituntut untuk selalu kreatif dan terbuka untuk menjaga dan memperluas “kejayaan” dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur dan baik yang telah ada. Pesantren harus mulai memikirkan nasib santrinya ketika kelak akan menjadi alumni. Dan ini hanya bisa ditempuh dengan cara memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada santri untuk meningkatkan kemampuan agar mempunyai life skill dan keilmuan (khususnya keagamaan) yang mumpuni.
Sehingga, menjadi apapun mereka kelak dengan jabatan dan posisi masing-masing dengan peran besar dan fungsi yang berbeda dalam berbagai bidang, mereka akan tetap mempunyai pegangan; keilmuan dan kesopanan.
Dan karena itulah, saat ini banyak ditemukan pesantren yang menunjang pendidikannya dengan mendirikan Madrasah dalam berbagai level pendidikan, mulai dari Madrasah Tsanawiyah hingga Madrasah Aliyah, MA Keagamaan, bahkan juga SMK, Universitas, dan berbagai kursus-kursus keahlian yang dilaksanakan di bawah tanggung jawab pesantren.
Sangat jelas, ini akan menambah motivasi seseorang untuk masuk pesantren dan mereka juga yakin bahwa mereka akan bisa bersaing di tengah kehidupan yang komplit dan rumit karena pesantren mempunyai orientasi berbeda yang memungkinkan santri memiliki life skill, kompetensi, dan kecakapan dalam berbagai bidang.
Mustafa Afif
Komentar
Posting Komentar