Langsung ke konten utama

Pesantren, Motivasi dan Orientasi

Dalam konteks tertentu, sebagaimana banyak orang meyakininya, penulis juga masih yakin bahwa pesantren adalah tempat yang baik untuk menciptakan proses pendidikan yang mencakup seluruh aspek yang selama ini menjadi orientasi dalam dunia pendidikan; kognitif, afektif, dan psikomotorik. 

Dengan bahasa yang lebih keren, pesantren masih menjadi tempat untuk menuai intelektualitas, emosionalitas, dan tentu saja spiritualitas seseorang untuk kemudian mampu menjadi manusia yang integral. Artinya, pesantren adalah lembaga pendidikan yang bertujuan untuk memanusiakan manusia.

Sistem pendidikan paling tua ini selama berpuluh-puluh tahun tetap menjadi pilihan, utamanya di daerah-daerah, bahkan di kota. Selain karena alasan di atas, pendidikan pesantren bisa dikatakan murah meriah, tidak perlu merogoh kocek dalam-dalam untuk bisa menikmatinya. Di samping itu, banyak orang-orang besar yang terlahir dari rahim pesantren dan mampu memberi kontribusi dan andil yang sangat besar terhadap bangsa ini, utamanya apabila melihat kembali sejarah bangsa ini dimana pada titik tertentu perlawanan terhadap para penjajah dimulai dari mereka yang mempunyai basic pesantren. Dan ini tertulis dalam sejarah dengan tinta emas dan akan tetap manis untuk dikenang.

Hanya saja kita harus mengakui, bahwa di zaman yang semakin maju ini, apalagi hantaman globalisasi yang sangat mengkhawatirkan melahirkan paham-paham baru yang diusung oleh bangsa barat melalui propaganda yang bahkan tidak pernah disadari. Dan pada akhirnya menggiring kebanyakan manusia menjadi orang-orang yang materialistis, hedonis, individualis, konsumtif, dan permisif. 

Pendidikan pun menjadi korban. Ia tidak lagi menjadi sesuatu yang sangat bernilai, karena nilai yang tertanam hanya bagaimana para lulusannya untuk mencari kerja, kerja, dan kerja. Ini tentu saja tidak bisa dibenarkan.

Maka, pesantren pun mulai “terganggu” dan keberadaannya mulai dipertanyakan. Orang-orang yang dulu menjadikan pesantren sebagai pilihan, kini mulai berpaling. Bahkan mungkin, setiap tahun jumlah siswa yang menjatuhkan pilihan untuk nyantri semakin berkurang. Ini mungkin terlalu sebjektif, tapi harus diakui juga bahwa hal ini terjadi di banyak pesantren. Kemudian, pesantren menjadi lembaga yang, menurut orang-orang tertentu, kurang prospek dan ditinggalkan.

Kenapa ini terjadi? Setidaknya ada dua hal yang bisa dijadikan sebagai pertimbangan;

Pertama, motivasi. Dalam dunia pendidikan, bahkan dalam hal apa saja, motivasi adalah hal yang penting. Motivasi menjadi salah satu syarat bagi siapa pun yang ingin berhasil dalam hidupnya, termasuk dalam hal pendidikan. Motivasi adalah roh yang mampu mencipratkan spirit dalam bekerja ataupun belajar. Maka, seseorang mestinya mempunyai motivasi yang benar dalam menjatuhkan pilihannya terhadap pondok pesantren. Dengan bahasa yang lebih sederhana, motivasi adalah niat. Salahnya niat akan menghasilkan hal yang berbeda. Hal ini pernah disinggung oleh Rasulullah dalam sebuah hadisnya, bahwa segala sesuatu (pekerjaan) bergantung niatnya..

Hanya saja, kita menemukan banyak fakta, bahwa ternyata banyak santri yang justru masuk ke pesantren bukan hanya mengusung motivasi yang rendah, tapi bahkan dengan tanpa motivasi. Bagaimana tidak, mereka hanya menjadi korban dari orang tua yang begitu ingin memasukkannya ke pesantren dengan alasan “lebih aman” dan murah meriah. Praktis, dalam kesehariannya, apa yang mereka lakukan di pesantren tidak terlalu berarti karena akan selalu dikalahkan dengan perasaan tidak kerasan yang sulit untuk dihilangkan. 

Bahkan dalam beberapa kasus, mereka justru menjadi “penggangu” dan sering melanggar terhadap peraturan pesantren karena dibalik lubuk hatinya, ia merasa bukan masuk pesantren, melainkan dijebloskan!. Tentu motivasi yang diusung akan berbeda, sehingga hasilnya pun tidak akan sama dibandingkan dengan santri yang mempunyai motivasi dan tujuan yang jelas.

Kedua, orientasi pesantren. Saat ini permasalahan yang dihadapi dalam hidup semakin komplek dan rumit. Diperlukan banyak hal dan perbuatan konkrit untuk menyelesaikannya. Problema ini setidaknya harus disadari sebagai sebuah moment bagi pesantren untuk menata diri dengan mempunyai orientasi yang jelas. Kita semua paham, bahwa sampai kapanpun, pesantren akan tetap mempunyai orientasi tafaqquh fi al-din, dan ini tidak bisa diganggu gugat. Sama sekali tidak!. 

Hanya saja, kita harus paham juga bahwa ada banyak hal yang tidak cukup mampu dijawab hanya dengan kajian yang selama ini ada di pesantren. Untuk itulah santri seharusnya mulai dibekali dengan kemampuan lain yang memungkinkan mereka untuk survive pasca menjadi alumni. 

Mungkin sebuah kebanggaan jika alumni sebuah pesantren juga menjadi seorang kyai, tapi dari alumni yang sekian banyak itu, yang tidak jadi kyai berapa? Yang jadi kuli berapa? Yang jadi tukang ojek berapa? Yang nganggur berapa? (ini senada dengan yang digagaskan syaikhona, bahwa permasalahan yang dihadapi tidak cukup hanya dengan tahlil dan istighasah). Mungkin juga ini tidak penting karena mau menjadi apapun mereka yang penting masih bisa menerapkan nilai-nilai keislaman yang diajarkan pesantren. Ini memang benar, tapi bagaimana pun semestinya pesantren sudah harus memikirkan ini. 

Diakui atau tidak, hal ini juga yang menjadi penyebab kurangnya minat banyak orang untuk mengenyam pendidikan di pesantren karena mereka berpikir bahwa pesantren tidak memberikan life skill yang memadai untuk membuatnya mampu bersaing. Dan barangkali hal ini juga yang menyebabkan ada sebagian orang yang merasa lebih betah di pesantren daripada mereka pulang ke rumah. Karena jika ia pulang, ia akan menanggung tanggung jawab sosial, sementara ia tidak mempunyai kemampuan selain kemampuan yang sudah begitu banyak dimiliki oleh orang lain. Itu artinya, ia memiliki kemungkinan kecil untuk memberikan kontribusi besar.

Sesuatu yang baik memang harus dijaga, dan sesuatu yang lebih baik juga harus menjadi pertimbangan untuk diambil. Yang terakhir ini yang sering terlupakan karena kebanyakan pesantren merasa cukup puas dengan apa yang sudah ada dengan melanjutkan tradisi yang sudah turun temurun. Ini tentu saja menafikan adanya perkembangan, karena qoidah itu mengajarkan untuk terbuka. Dalam kerangka teoritis, kita tahu bahwa paradigma itu melahirkan teori yang digunakan untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi, dan ketika teori yang ada tidak mampu menjawab permasalahan yang berkembang, maka salah satu jalan yang mestinya ditempuh adalah dengan merubah paradigma.

Untuk itulah pesantren memang dituntut untuk selalu kreatif dan terbuka dengan tetap menjaga nilai-nilai luhur dan baik yang telah ada. Pesantren harus mulai memikirkan nasib santrinya ketika kelak akan menjadi alumni. Dan ini hanya bisa ditempuh dengan cara memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada santri untuk meningkatkan kemampuan agar mempunyai life skill dan keilmuan (khususnya keagamaan) yang mumpuni. Sehingga, menjadi apapun mereka kelak dengan jabatan dan posisi masing-masing dengan peran besar dan fungsi yang berbeda dalam berbagai bidang, mereka akan tetap mempunyai pegangan; keilmuan dan kesopanan. 

Dan karena itulah, saat ini banyak ditemukan pesantren yang menunjang pendidikannya dengan mendirikan Madrasah dalam berbagai level pendidikan, mulai dari Madrasah Tsanawiyah hingga Madrasah Aliyah, MA Keagamaan, bahkan juga SMK, Universitas, dan berbagai kursus-kursus keahlian yang dilaksanakan di bawah tanggung jawab pesantren. Sehingga sangat jelas, ini akan menambah motivasi seseorang untuk masuk pesantren dan mereka juga yakin bahwa mereka akan bisa bersaing di tengah kehidupan yang komplit dan rumit karena pesantren mempunyai orientasi yang jelas dan terlaksana. Amin.


Mustafa Afif

Komentar

Postingan populer dari blog ini

“Koalisi Biru”, Bangkit Bersama untuk Pamekasan ber-Kharisma

Sampai akhirnya muncul secara samar nama pasangan KH. Kholilurrahman - Sukriyanto (Kharisma) , tak banyak yang meyakini pasangan ini akan benar-benar maju. Lebih tepatnya dunia perpolitikan di Pamekasan banyak yang meragukan pasangan ini akan mendapatkan rekomendasi dari partai. Terlebih, asumsi sumir itu kemudian dikaitkan dengan kemampuan logistik yang kerap kali dicibir. Konstelasi perpolitikan di Pamekasan memang unik, dalam beberapa sisi cenderung lebih menarik. Ada begitu banyak hal yang ternyata tidak selesai hanya dengan selesainya urusan logistik. Anda boleh saja menaburkan “rudal balistik” sedemikian rupa, tapi ada masanya itu menjadi tidak berharga ketika Anda menyalahi “negosiasi”, “parembhegen” dan “tengka” . Pada Pilpres di Kabupaten Pamekasan kemarin kita bisa melihatnya secara nyata. Lalu, ketika rekomendasi dari Gelora, Demokrat, NasDem, dan terakhir PAN benar-benar sudah di tangan, banyak kalangan yang tercengang dan kaget. Bisik-bisik terdengar, “kok, bisa, ya?”, “j...

Memimpikan Tarung Bebas Ide dan Gagasan di Pilkada Pamekasan

Pilkada serentak akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Setelah menyelesaikan Pilpres dan Pileg, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pemilu paling brutal, kerja-kerja elektoral sudah dimulai lagi. Tanpa jeda. Mereka yang berminat maju dengan hasrat politik yang kuat, sejak lama sudah mengepalkan tangan. Membentuk tim di darat, laut, dan udara; sosialisasi dari kampung ke kampung; memasang baliho-baliho di jalanan atau gambar-gambar  bersliweran  di media sosial; memastikan kesiapan logistik di lapangan; menyambangi tokoh-tokoh berpengaruh; serta mendekati orang-orang penting di partai; termasuk juga lobi-lobi politik "jalur langit". Partai politik menghidupkan mesinnya. Mulai dari persiapan teknis-administratif seperti penjaringan calon; membuka komunikasi lintas partai untuk menjalin koalisi; melirik-lirik dan menguntit calon potensial; memetakan kekuatan politik di lapangan; dan tentu saja kerja-kerja elektoral untuk menaikkan nilai tawar. Kita bisa mel...

Semesta Mendukung, Harga Tembakau Melambung!

Akhirnya, nicotiana tobacum  alias tembakau kembali menjadi daun emas bagi para petani. Baru tahun kemarin, senyum bahagia merekah dari wajah para petani tembakau di Madura karena harga tembakau yang terangkat kembali. Tentu saja belum layak jika dibandingkan "harga psikologis" yang semestinya, tapi setidaknya harapan itu kembali muncul setelah "dipecundangi" murahnya harga selama sekian tahun terakhir ini. Menurut saya, mahalnya harga tembakau tahun lalu itu karena peran dan perjuangan semua pihak, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, pemerintah, bahkan cuaca dan alam melalui "sempurnanya" musim kemarau. Semuanya terlibat, sesuai peran. Semesta mendukung, seperti sebuah orkestrasi untuk saling rojhung .  Jadi, tak perlu ada pihak-pihak tertentu yang kemudian ngaku-ngaku sebagai kelompok yang paling berjuang dan berjasa untuk kesejahteraan petani tembakau, lebih-lebih mereka bukan menjadi bagian dari yang membuat regulasi, terutama soal tata niaga pert...