Sebelum berbicara lebih jauh tentang hijrah dalam dunia pendidikan, sekaligus penjelasan maksud dan tujuan dari tulisan ini agar tidak melahirkan tafsir yang ambigu dan remang (terlebih dianggap provokatif), sepertinya sangat penting mengetahui terlebih dahulu kenapa tulisan ini lahir?. Maka, berbicara tentang hal ini, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakanginya;
Pertama, kalau yang menjadi acuan kita (khususnya orang-orang pesantren) adalah orang-orang yang selama ini menjadi ‘kebanggaan’, yakni para imam masyhur yang telah melahirkan madzhab dan menelurkan banyak karya, maka sudah menjadi rahasia umum bahwa beliau-beliau adalah orang yang tidak hanya puas dengan satu ilmu, dan tidak merasa cukup hanya belajar di satu tempat. Sebut saja Imam Syafi’i, yang dalam proses perjalanan keilmuannya, beliau berpindah-pindah tempat mulai dari Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad, bahkan hingga ke Mesir. Pun begitu juga dengan Imam Hanafi, Imam Ghazali, dan imam-imam yang lainnya.
Kedua, sebuah petuah manis yang sangat singkat dari guru saya di pesantren; “Nyareh je’ bit abit...” (Mencari jangan terlalu lama). Artinya, bahwa dalam konteks tertentu, mencari memang tidak membutuhkan waktu yang lama, apalagi terlalu lama, karena yang lebih penting adalah kesungguhan dalam mencari itu sendiri.
Ketiga, saat ini romantisme dan spirit dibalik hijrah masih terasa, dalam suasana bulan hijriyah yang belum purna, masih beberapa hari tersisa. Paling tidak, di bulan ini, perlu ada “makna” baru dalam memaknai hijrah, hijriyah, dan pelajaran penting dari keduanya.
Hijrah dan Dunia Pendidikan
Secara etimologis, hijrah diartikan dengan berpindah. Namun, pada perkembangan selanjutnya, kata hijrah mengalami perluasan makna yang sangat luas, bukan hanya berpindah dari tempat ke tempat sebagaimana interpretasi awalnya, tapi lebih dari itu hijrah menjadi istilah yang familiar untuk mengungkapkan perpindahan dari tidak baik menjadi baik, dari tidak rajin menjadi rajin, dari gelap menjadi terang, dan lain sebagainya.
Lantas, apa hubungannya dengan dunia pendidikan?
Maka, penulis berasumsi bahwa hijrah dalam dunia pendidikan merupakan sebuah keniscayaan. Artinya, bahwa bagaimana pun, dalam proses perjalanan pendidikan seseorang akan mengalami kehausan intelektual dan pengalaman yang tidak akan didapatkan jika ia tetap duduk manis di tempat sebelumnya. Sebagaimana yang dilakukan oleh para imam terdahulu yang bahkan rela menjelajah dari satu negara ke negara lain untuk memenuhi hasrat intelektualnya. Dalam konteks tertentu, beliau bahkan memilih guru khusus untuk bidang keilmuan tertentu.
Kaitannya dengan dunia pendidikan, penulis lebih setuju apabila pemaknaan terhadap hijrah bukanlah pada tataran idealisme semata, melainkan kembali pada konsep awal dimana hijrah itu dimaknai; berpindah dari tempat ke tempat.
Hanya saja, harus kita akui, ada banyak orang yang menganggap bahwa hal itu tidaklah penting. Selain karena faktor finansial yang menjadi kendala utama, mereka kadang terlalu skeptis dan apriori. Memang benar, bahwa belajar bukanlah masalah tempat, melainkan kesungguhan. Belajar bukan hanya soal Madura, Jakarta, bahkan Mesir dan Arab. Tapi bagaimana pun, interaksi dan berbagi pengalaman tetap tidak bisa dikesampingkan jika menginginkan terpenuhinya kehausan intelektual dan lebih berkembangnya tahapan-tahapan intelektual seseorang. Dan yang pasti, bahwa hasil yang berbeda, kadang sangat bergantung dengan tempat yang juga berbeda karena di tempat yang berbeda itulah, ada cara-cara yang berbeda pula.
Lalu kenapa hijrah dalam dunia pendidikan itu penting?
Pertama, dengan berpindah ke lain tempat untuk menimba ilmu, memungkinkan seseorang tidak terjerembab pada jurang fanatisme dalam bidang keilmuan, sehingga tidak melahirkan orang-orang yang kadang kokoh dengan prinsipnya sendiri meskipun dengan alasan yang dangkal dan cenderung justifikatif. Dan inilah yang banyak kita saksikan sekarang.
Kedua, hijrah dalam dunia pendidikan, akan memberikan porsi lebih kepada seseorang untuk memperdalam banyak hal dengan metode, cara, dan guru yang berbeda sehingga ia akan kaya dengan pengetahuan, dan mempunyai kesadaran akan luasnya samudera keilmuan. Dalam konteks kedua ini, akan lahir orang-orang yang bisa memaknai kehidupan secara lebih komplek. Bukan kemudian melahirkan orang-orang yang tak ubahnya ‘katak dalam tempurung’. Khusus untuk hal ini, penulis mempunyai banyak teman yang dulu di pesantren hebat, tapi setelah di luar merasa tercengang dengan kemampuan yang dimiliki orang-orang yang baru dikenalnya.
Ketiga, dan inilah yang penting, hijrah dalam dunia pendidikan melahirkan orang-orang yang kaya pengalaman dan mempunyai banyak jaringan. Entah itu jaringan keilmuan, bisnis, atau bahkan pekerjaan. Pengalaman dan jaringan menjadi penyeimbang ilmu pengetahuan. Seseorang yang keilmuannya bisa diandalkan, tapi tidak mempunyai jaringan dan pengalaman akan kurang seimbang untuk mempunyai peran yang besar. Dulu, penulis mendapat nasihat langsung dari Anis Baswedan (Rektor Universitas Paramadina, Jakarta) yang kurang lebih intinya begini, “... seorang ilmuwan, jika tinggal sendirian di gunung, bisa dipastikan tidak akan memberikan kontribusi yang besar dalam hidupnya...”.
Lakukan Secepat Mungkin
Tiga hal penting yang penulis jelaskan di atas, setidaknya cukup untuk menjadi alasan kenapa hijrah dalam dunia pendidikan itu menjadi penting. Selain ada banyak hal yang didapatkan, hijrah dalam dunia pendidikan juga sebagai cara untuk meneladani para salafus shaleh dalam memenuhi kehausan intelektualnya yang pada akhirnya bermuara pada kemajuan islam di berbagai bidang.
Memang bukanlah hal yang mudah untuk melakukannya. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Biaya, jauh dari keluarga, masa depan yang masih membingungkan, tanggung jawab sosial, dan lain sebagainya. Tapi yang lebih penting dari itu keberanian, kepercayaan, usaha serta doa menjadi keniscayaan selanjutnya.
Terakhir, tulisan ini hanya bermaksud untuk mencipratkan spirit perubahan dalam hidup dan kehidupan, utamanya dalam proses aktualisasi intelektual dan perubahan dengan harapan akan melahirkan sebuah kesadaran baru. Entah apa pun kesadaran itu (semoga). Namun, semuanya bergantung bagaimana pembaca menginterpretasikan kalimat-kalimat ini menjadi sebentuk pemahaman yang semoga bermanfaat. Amin.
Mustafa Afif
Komentar
Posting Komentar