Langsung ke konten utama

Ijazahmu Tak Menjamin Bidang Pekerjaanmu

Sumber: blog.maukuliah.id

"Percayalah, lelahnya bekerja itu selalu lebih indah dibandingkan lelahnya mencari pekerjaan", begitu orang-orang lama katakan...

Pikiran mainstream semua orang mungkin begini: melanjutkan pendidikan sesuai dengan keinginan lalu bekerja dan membangun karir sesuai dengan ijazah. Para orang tua dan anak-anak di kota barangkali lebih rigid dalam memikirkan ini. Soal masa depan. Jauh-jauh hari sebelumnya sudah dibingungkan dengan masuk SD mana, lalu lanjut kemana, ikut bimbel di tempat siapa, lalu semakin mengerucut hingga mau ampil jurusan apa dan nanti proyeksinya akan bekerja dimana. Berbeda dengan sebagian besar para orang tua dan anak-anak kampung, asal sekolah saja sudah untung.

Memang seperti itu idealnya...

Sampai tiba pada suatu masa, dimana kita temukan banyak sekali diskrepansi soal ini. Harapan berbeda jauh dengan kenyataan. Jangankan soal pekerjaan, bisa melanjutkan pendidikan hingga ke jenjang perguruan tinggi saja adalah sebuah kemewahan yang hanya bisa dinikmati oleh sekian persen anak-anak di negara ini.

Bahkan, kalau pun lulus, betapa banyak kita menemukan mereka bekerja tidak sesuai dengan jurusan yang menjadi spesialisasinya. Kadang tidak nyambung dengan ijazahnya. Aneh memang, tapi begitulah kenyataannya. Saya punya teman jurusan Aqidah Filsafat, tapi diterima bekerja di Bank swasta. Banyak teman-teman penulis yang menjadi Staf atau Tenaga Ahli di Gedung Senayan sana, tapi ijazahnya adalah ilmu keislaman atau pendidikan Islam.

Teman-teman Psikologi saya, banyak yang bekerja di luar ijazahnya. Ada yang menjadi teller di Bank, ada yang bekerja di Kereta Api bagian teknisnya, ada juga yang bekerja di dunia jurnalistik dan pertelevisian. Apakah pembaca yang budiman pernah mendengar plesetan IPB menjadi Institut Perbank-an Bogor dari saking banyaknya alumni yang bekerja di dunia Perbankan? Mungkin pernah juga mendengar Institut Pewarta Bogor dari saking banyaknya alumni IPB yang menjadi wartawan atau jurnalis?

Silahkan pembaca sekalian membuat daftar sendiri tentang ini, teman teman-teman dan orang-orang di sekitar yang pekerjaannya sama sekali berbeda dengan spesialisasi dan spesifikasi melalui gelar mentereng yang tertera di ijazahnya.

Percayalah, mendapatkan pekerjaan di masa sekarang, lebih mujur dibandingkan lulusan perguruan tinggi yang sampai saat ini masih menjadi pengangguran. Luntang lantung kesana-kemari seperti lagunya Iwan Fals, bahkan pada titik tertentu ijazahnya menjadi tidak bermakna karena akhirnya menjadi kuli dan buruh kasar. Banyak? Jutaan! Jangankan lulusan dalam negeri, jebolan luar negeri pun banyak yang sampai sekarang masih pengangguran.

Kenapa harus idealis banget memikirkan pekerjaan sesuai dengan ijazah, sementara lapangan pekerjaannya saja masih susah? Benar memang, pekerjaan terbaik adalah hobi yang dibayar. Tapi jika pun tidak begitu, kita tak perlu idealis untuk sekedar mengamankan perut dari kelaparan dan memenuhi kebutuhan, yang penting halal.

Pendidikan adalah cara terbaik untuk menciptakan perubahan dan kemajuan. Harapannya, dengan pendidikan yang baik akan semakin banyak manusia-manusia yang tersejahterakan. Itulah kenapa, pendidikan sering kali dikaitkan dengan karir seseorang. Padahal, dalam perspektif pribadi, mestinya pendidikan itu hanya untuk belajar, pengalaman, meningkatkan peran dan eksistensi diri, serta memunculkan potensi yang dimiliki. Menjadi manusia, yang terdidik. Bukan manusia yang hidupnya penuh rasa khawatir soal idealisme di masa yang akan datang.

Hasilnya? Kecemasan-kecemasan yang terawat setiap harinya.

Kurang benar jika menjadikan pendidikan sebagai cara untuk mendapatkan pekerjaan, meski tidak sepenuhnya salah. Pendidikan itu mestinya untuk mencari ilmu, bukan untuk mengejar karir. Sebab jika pekerjaan yang dituju, sebagian besar sudah merasakan bagaimana pedihnya kekecewaan, kecemasan. Ijazah menjadi tak begitu diperlukan. Kenyataannya memang seperti itu, bukan? Lalu kita sampai juga pada masa dimana kemampuan, keahlian, lebih diperlukan daripada sekedar ijazah.

Tulisan ini bukan mendorong pesimisme dalam dunia pendidikan, tapi mencoba berpikir ulang di tengah kenyataan banyaknya pengangguran dan perbedaan yang terang antara jurusan dengan pekerjaan, bahwa kita hanya perlu mencukupkan tujuan sekolah dan kuliah kita untuk belajar dan mencari ilmu. Sekuat tenaga fokus untuk pengembangan diri melalui potensi dan kemampuan. Selebihnya, soal pekerjaan, biarlah Allah yang tentukan. Alhamdulillan kalau sesuai, jika tidak pun, perlu bersyukur dibandingkan pengangguran.

Sebab, ijazahmu tak menjamin pekerjaan sesuai jurusanmu, bahkan tak menjamin pekerjaanmu! Lalu, masihkah ingin melanjutkan pendidikan hanya untuk kerja?

Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ijazahmu Tak Menjamin Bidang Pekerjaanmu", Klik untuk baca:

https://www.kompasiana.com/mustapep/6232de7bcfca51717c585cd2/ijazahmu-tak-menjamin-bidang-pekerjaanmu?page=all#section1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memimpikan Tarung Bebas Ide dan Gagasan di Pilkada Pamekasan

Pilkada serentak akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Setelah menyelesaikan Pilpres dan Pileg, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pemilu paling brutal, kerja-kerja elektoral sudah dimulai lagi. Tanpa jeda. Mereka yang berminat maju dengan hasrat politik yang kuat, sejak lama sudah mengepalkan tangan. Membentuk tim di darat, laut, dan udara; sosialisasi dari kampung ke kampung; memasang baliho-baliho di jalanan atau gambar-gambar  bersliweran  di media sosial; memastikan kesiapan logistik di lapangan; menyambangi tokoh-tokoh berpengaruh; serta mendekati orang-orang penting di partai; termasuk juga lobi-lobi politik "jalur langit". Partai politik menghidupkan mesinnya. Mulai dari persiapan teknis-administratif seperti penjaringan calon; membuka komunikasi lintas partai untuk menjalin koalisi; melirik-lirik dan menguntit calon potensial; memetakan kekuatan politik di lapangan; dan tentu saja kerja-kerja elektoral untuk menaikkan nilai tawar. Kita bisa mel...

“Koalisi Biru”, Bangkit Bersama untuk Pamekasan ber-Kharisma

Sampai akhirnya muncul secara samar nama pasangan KH. Kholilurrahman - Sukriyanto (Kharisma) , tak banyak yang meyakini pasangan ini akan benar-benar maju. Lebih tepatnya dunia perpolitikan di Pamekasan banyak yang meragukan pasangan ini akan mendapatkan rekomendasi dari partai. Terlebih, asumsi sumir itu kemudian dikaitkan dengan kemampuan logistik yang kerap kali dicibir. Konstelasi perpolitikan di Pamekasan memang unik, dalam beberapa sisi cenderung lebih menarik. Ada begitu banyak hal yang ternyata tidak selesai hanya dengan selesainya urusan logistik. Anda boleh saja menaburkan “rudal balistik” sedemikian rupa, tapi ada masanya itu menjadi tidak berharga ketika Anda menyalahi “negosiasi”, “parembhegen” dan “tengka” . Pada Pilpres di Kabupaten Pamekasan kemarin kita bisa melihatnya secara nyata. Lalu, ketika rekomendasi dari Gelora, Demokrat, NasDem, dan terakhir PAN benar-benar sudah di tangan, banyak kalangan yang tercengang dan kaget. Bisik-bisik terdengar, “kok, bisa, ya?”, “j...

Semesta Mendukung, Harga Tembakau Melambung!

Akhirnya, nicotiana tobacum  alias tembakau kembali menjadi daun emas bagi para petani. Baru tahun kemarin, senyum bahagia merekah dari wajah para petani tembakau di Madura karena harga tembakau yang terangkat kembali. Tentu saja belum layak jika dibandingkan "harga psikologis" yang semestinya, tapi setidaknya harapan itu kembali muncul setelah "dipecundangi" murahnya harga selama sekian tahun terakhir ini. Menurut saya, mahalnya harga tembakau tahun lalu itu karena peran dan perjuangan semua pihak, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, pemerintah, bahkan cuaca dan alam melalui "sempurnanya" musim kemarau. Semuanya terlibat, sesuai peran. Semesta mendukung, seperti sebuah orkestrasi untuk saling rojhung .  Jadi, tak perlu ada pihak-pihak tertentu yang kemudian ngaku-ngaku sebagai kelompok yang paling berjuang dan berjasa untuk kesejahteraan petani tembakau, lebih-lebih mereka bukan menjadi bagian dari yang membuat regulasi, terutama soal tata niaga pert...