Langsung ke konten utama

Pamekasan Membutuhkan Pemimpin Seperti Apa?

Bayangan ideal dalam imajinasi kita, Pamekasan butuh pemimpin yang bisa bekerja dan menjadi solusi dari berbagai persoalan; pemimpin yang siap berpeluh keringat dan berdarah-darah untuk memakmurkan rakyat; pemimpin yang rela mendahulukan kepentingan umum di atas segala kepentingannya dan kelompoknya; pemimpin yang dibesarkan oleh ide dan gagasan tentang kemajuan, yang egaliter dan tidak elitis, menjadikan Pendopo sebagai “rumah bersama” untuk masyarakat.

Imajinasi ideal di atas bisa diperpanjang sesuai keinginan sebab masing-masing kita bisa memberikan banyak spesifikasi-objektif, bahkan mungkin berbagai syarat yang spekulatif-subjektif, tentang sosok pemimpin seperti apa yang dibutuhkan untuk memimpin Pamekasan ke depan. Tetapi, jika harus melakukan “simplifikasi”, maka beberapa hal berikut ini penting dimiliki sebagai “modal”, yaitu :

Pertama, kemampuan konsolidatif-pemersatu. Artinya, sebagai pasangan pemimpin, mereka harus mampu mengonsolidasikan dan menyatukan kekuatan berbagai kelompok masyarakat yang selama ini menjadi “patron”, mulai dari tokoh kiai/ulama; sesepuh dan tokoh lokal; pengusaha; tokoh blater; termasuk juga tokoh muda. Hal ini penting dilakukan untuk menciptakan harmonisasi sekaligus menjadi kekuatan besar untuk menopang terlaksananya program pembangunan.

Upaya konsolidasi dengan semua kelompok akan menjadi kunci, terlebih ketika eskalasi politik di Pilkada sebelumnya relatif panas, misalnya, maka komunikasi yang baik menjadi keniscayaan untuk merubuhkan tembok perbedaan. Merangkul dan menggerakkan semua kelompok untuk ikut terlibat dalam pembangunan Pamekasan ke depan sesuai dengan tupoksi dan perannya masing-masing adalah bagian penting dari kerja pemimpin Pamekasan ke depan.

Ingat, konsolidasi dan pemersatu, bukan untuk “bagi-bagi”!.

Kedua, memastikan pelaksanaan good and clean governance dalam birokrasi melalui prinsip yang terbuka dan transparan. Untuk mengisi pos tertentu haruslah the right man on the right place melalui lelang jabatan, bukan titipan. Posisi yang penting tidak bisa dibiarkan kosong apalagi hanya dipasrahkan kepada Plt. tanpa kepentingan yang jelas.

Pemerintahan yang tidak dibangun di atas prinsip yang setara dan terbuka akan menjadikan situasi internal yang tidak kondusif, padahal mesin birokrasi ditentukan oleh kekompakan seluruh komponen untuk sama-sama bekerja dan bekerja bersama-sama.

Pemimpin Pamekasan harus bisa diterima, dihormati, dan disegani di kalangan internal birokrasi, termasuk juga oleh para dewan yang terhormat. Membangun orkestra dan semangat kerja yang baik untuk mendukung dan mencapai visi-misi serta janji-janji politik yang sudah diucapkan.

Caranya? Lakukan saja sebagaimana mestinya menurut regulasi yang ada. Menghindari sejauh mungkin tipikal bawahan atau sejawat “penjilat” sehingga tidak jatuh pada pola-pola permainan lama, lebih-lebih soal (politik) anggaran. Tapi semua kerja dan perjuangan yang dilakukan berdasarkan good and political will untuk sepenuhnya memakmurkan dan menyejahterakan rakyat.

Ketiga, menjadi keniscayaan bagi pemimpin Pamekasan untuk memberikan contoh yang baik tentang harmonisasi melalui kerjasama yang utuh antara Bupati dengan wakilnya sebagai dwi-tunggal. Artinya, attachment keduanya haruslah dimulai sejak jauh-jauh sebelumnya, bukan hanya karena dipasangkan ketika Pilkada. Keduanya harus bergandeng tangan hingga tugas selesai, bukan saling “bermusuhan” lalu masing-masing menjauh, dan di Pilkada selanjutnya menjadi lawan bebuyutan.

Perpecahan dwi-tunggal sering sekali terjadi dan menjadi awal tidak berjalannya mesin pemerintahan karena birokrasinya menjadi timpang. Bupati akan cenderung menganak-emaskan bawahan yang disukai, begitu juga dengan Wakil Bupatinya. Ada dua matahari kembar yang membuat panas birokrasi seperti api dalam sekam. Tinggal menunggu waktu untuk terbakar.

Keempat, egaliter dan tidak elitis. Sering-seringlah melakukan interaksi dengan masyarakat. Percayalah, bahwa dengan menjadi egaliter sama sekali tidak mengurangi elitisme jabatan yang melekat. Mereka harus sadar, bahwa sejak mereka dilantik, mereka adalah milik rakyat.

Buka selebar-lebarnya kran komunikasi, jadikan pendopo sebagai tempat untuk berdiskusi, lalu hadirkan solusi.

Rakyat pasti jengah dengan pemimpin yang hanya duduk manis, seolah segala persoalan bisa diselesaikan hanya dengan memantau dari menara gading. Rakyat pastilah bosan dengan gaya pemimpin elitis. Rakyat lebih suka melihat pemimpinnya adalah representasi dari mereka yang siap duduk dengan para jelata, mendengarkan keluh-kesah dan berpeluh bersama mereka. Tidak perlu setiap hari, toh, rakyat juga mengerti saat-saat dimana pemimpinnya sibuk dan begitu banyak yang diurusi.

Sedikit perspektif ini tentulah tidak bisa dijadikan patokan utuh untuk mengetahui Pamekasan membutuhkan pemimpin seperti apa, terlebih masing-masing kepala memiliki pandangan yang berbeda-beda. Tapi setidaknya, tiga hal itu wajib dimiliki oleh mereka yang berniat untuk menjadi pemimpin Pamekasan ke depan. Semakin ditambah dengan tawaran ide-ide dan gagasan yang segar dan genuine soal pembangunan dan kemajuan Pamekasan, tentu akan menaikkan nilai tawar mereka di hati masyarakat.

Kemudian, dari begitu banyak sosok dan figur yang sudah bermunculan dan gambarnya telah menjadi “sampah” visual di media dan di jalan-jalan, siapa kira-kira yang menurut pembaca paling siap dengan tiga “modal” di atas?

Salam Berani,
Mustafa Afif

Komentar

  1. Manteb, ide segar seperti selalu ditunggu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Namanya juga imajinasi idealis, Kak Dewan. Sudah idealis, imajinasi pula. Wkwkwk. Tapi, sebagai sebuah harapan sepertinya bukan hil yang mustahal...

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memimpikan Tarung Bebas Ide dan Gagasan di Pilkada Pamekasan

Pilkada serentak akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Setelah menyelesaikan Pilpres dan Pileg, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pemilu paling brutal, kerja-kerja elektoral sudah dimulai lagi. Tanpa jeda. Mereka yang berminat maju dengan hasrat politik yang kuat, sejak lama sudah mengepalkan tangan. Membentuk tim di darat, laut, dan udara; sosialisasi dari kampung ke kampung; memasang baliho-baliho di jalanan atau gambar-gambar  bersliweran  di media sosial; memastikan kesiapan logistik di lapangan; menyambangi tokoh-tokoh berpengaruh; serta mendekati orang-orang penting di partai; termasuk juga lobi-lobi politik "jalur langit". Partai politik menghidupkan mesinnya. Mulai dari persiapan teknis-administratif seperti penjaringan calon; membuka komunikasi lintas partai untuk menjalin koalisi; melirik-lirik dan menguntit calon potensial; memetakan kekuatan politik di lapangan; dan tentu saja kerja-kerja elektoral untuk menaikkan nilai tawar. Kita bisa mel...

Semesta Mendukung, Harga Tembakau Melambung!

Akhirnya, nicotiana tobacum  alias tembakau kembali menjadi daun emas bagi para petani. Baru tahun kemarin, senyum bahagia merekah dari wajah para petani tembakau di Madura karena harga tembakau yang terangkat kembali. Tentu saja belum layak jika dibandingkan "harga psikologis" yang semestinya, tapi setidaknya harapan itu kembali muncul setelah "dipecundangi" murahnya harga selama sekian tahun terakhir ini. Menurut saya, mahalnya harga tembakau tahun lalu itu karena peran dan perjuangan semua pihak, mulai dari petani, pedagang, pengusaha, pemerintah, bahkan cuaca dan alam melalui "sempurnanya" musim kemarau. Semuanya terlibat, sesuai peran. Semesta mendukung, seperti sebuah orkestrasi untuk saling rojhung .  Jadi, tak perlu ada pihak-pihak tertentu yang kemudian ngaku-ngaku sebagai kelompok yang paling berjuang dan berjasa untuk kesejahteraan petani tembakau, lebih-lebih mereka bukan menjadi bagian dari yang membuat regulasi, terutama soal tata niaga pert...

Hijrah Dalam Dunia Pendidikan

Sebelum berbicara lebih jauh tentang hijrah dalam dunia pendidikan, sekaligus penjelasan maksud dan tujuan dari tulisan ini agar tidak melahirkan tafsir yang ambigu dan remang (terlebih dianggap provokatif), sepertinya sangat penting mengetahui terlebih dahulu kenapa tulisan ini lahir?. Maka, berbicara tentang hal ini, setidaknya ada dua hal yang melatarbelakanginya; Pertama, kalau yang menjadi acuan kita (khususnya orang-orang pesantren) adalah orang-orang yang selama ini menjadi ‘kebanggaan’, yakni para imam masyhur yang telah melahirkan madzhab dan menelurkan banyak karya, maka sudah menjadi rahasia umum bahwa beliau-beliau adalah orang yang tidak hanya puas dengan satu ilmu, dan tidak merasa cukup hanya belajar di satu tempat. Sebut saja Imam Syafi’i, yang dalam proses perjalanan keilmuannya, beliau berpindah-pindah tempat mulai dari Makkah, Madinah, Yaman, Baghdad, bahkan hingga ke Mesir. Pun begitu juga dengan Imam Hanafi, Imam Ghazali, dan imam-imam yang lainnya. Kedua, sebuah...