Berdasarkan data yang dirilis oleh AC Nielsen, Indonesia menjadi negara konsumtif ke-2 di dunia setelah Singapura _sebagai nomor satunya_, dan yang lebih mengagetkan, ternyata 60 persen yang berbelanja di Singapura adalah orang Indonesia. Artinya, berdasarkan data tersebut, Indonesia sebenarnya nomor dua sekaligus nomor pertama sebagai negara konsumtif di dunia.
Tentu
fakta ini bukanlah prestasi yang membanggakan ketika, paling tidak, diteropong
dari beberapa hal. Pertama, secara umum akan menjadi sulit untuk
membayangkan sebuah negara yang konsumtif bisa maju dan berkompetisi dengan
negara lainnya meski perekonomian Indonesia terus mengalami perbaikan. Kedua,
ternyata kesadaran untuk lebih memilih produk dalam negeri daripada luar negeri
masih minim. Angka 60 persen yang berbelanja di Singapura menjadi indikasi
bagaimana rakyat Indonesia lebih tertarik pada produk asing dengan brand tertentu
yang dianggapnya sudah berkualitas. Di dalam negeri pun juga begitu. Banyak
produk lokal yang tak berkutik di hadapan barang-barang impor dari luar negeri.
Ketiga, semakin
meningkatnya tingkat konsumsi rakyat Indonesia akan membuka peluang semakin
banyaknya permasalahan yang muncul pada tataran konsumen, yang pada akhirnya
konsumen selalu menjadi korban dan menanggung kerugian yang tidak seharusnya
mereka dapatkan. Gempuran iklan dari berbagai media, passion untuk
membeli, harga yang semakin bersaing, prosedur yang gampang, membuat masyarakat
Indonesia seakan menutup mata terhadap segala kemungkinan yang akan didapatkan,
sehingga tidak jarang keputusan membeli dan mengkonsumsi berujung pada
penyesalan, bahkan menjadi kasus hukum yang harus berujung di pengadilan.
Adanya
permasalahan seperti ini, tentu harus dikembalikan pada sebuah kenyataan, bahwa
masyarakat Indonesia belum bisa dikatakan sebagai konsumen yang cerdas dan
mandiri. Tak banyak masyarakat yang tahu akan hak dan kewajiban mereka sebagai
konsumen. Tak banyak yang bisa memperhitungkan secara matang ketika memutuskan
untuk membeli sesuatu. Tak banyak juga yang membeli sesuatu karena memang
mereka membutuhkan itu, tapi lebih kepada keinginan, dan terkadang karena
gengsi semata.
Adanya
Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memang menjadi
angin segar di tengah munculnya berbagai kasus yang telah banyak merugikan
konsumen. Berbagai inovasi dari pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Perdagangan khususnya Dirjen Standardisasi dan Perlindungan konsumen, sudah
dihasilkan termasuk adanya pusat pengaduan melalui saluran nomor khusus.
Berbagai kebijakan sudah diambil untuk melindungi konsumen, termasuk 4 Pilar
kebijakan Perlindungan Konsumen yang sangat membanggakan meski perlu
direvitalisasi dan dijalankan agar tidak menjadi peraturan basi. Namun,
mewujudkan masyarakat Indonesia sebagai konsumen yang cerdas dan mandiri
tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Hal yang paling mendasar dari
permasalahan itu, menurut hemat penulis, adalah sosialisasi dan edukasi.
Pentingnya Sosialisasi dan Edukasi
Berkesinambungan
Sosialisasi
menjadi instrumen penting yang harus dilakukan oleh pemerintah, sebab sebagus
dan sebijak apapun kebijakan yang dimiliki, akan menjadi hampa ketika tidak
diikuti dengan proses sosialisasi yang berkesinambungan. Pemerintah harus terus
menerus melakukan sosialisasi kepada masyarakat secara umum, mulai dari kota
hingga pelosok desa, tentang Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK), baik
materi dan pelaksanaannya di lapangan. Dalam hal ini pemerintah bisa memberdayakan
Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSW) serta badan-badan lain
untuk ikut melakukan sosialisasi dan bekerjasama untuk memasyarakatkan UUPK. Untuk
lebih mempermudah itu, pemerintah juga bisa membentuk cabang-cabang di setiap
Kabupaten/Kota sehingga kordinasi sosialisasi program menjadi lebih mudah dan
terarah. Adanya kantong-kantong pengaduan dan pelayanan masyarakat di daerah
yang lebih bisa dijangkau, akan lebih mudah
Sejauh
ini sosialisasi yang dilakukan melalui seminar, pertemuan, dan diskusi dengan
beberapa kalangan tertentu terasa kurang menyentuh karena fakta di lapangan,
masih sangat banyak masyarakat yang tidak paham tentang UUPK, bahkan banyak
yang tidak Undang-undang itu ada. Penggunaan media yang sifatnya lebih masif
perlu dipertimbangkan misalnya dengan iklan di televisi, radio, atau media
cetak. Iklan-iklan tersebut paling tidak akan membantu memberikan pengetahuan
kepada masyarakat yang selama ini dijejali dengan iklan-iklan produk dan
cenderung menjadikan mereka semakin konsumtif.
Selain
sosialisasi, yang paling penting sebenarnya adalah adanya edukasi kepada
masyarakat tentang cara menjadi konsumen yang cerdas dan mandiri. Mengedukasi
masyarakat untuk mengetahui hak dan kewajiban mereka sebagai konsumen,
menciptakan kesadaran untuk lebih mementingkan kebutuhan daripada keinginan,
memberikan penjelasan tentang solusi ketika ada permasalahan dan kerugian,
adalah tema-tema penting yang harus diberikan. Hal ini bisa dilakukan secara
bersamaan dengan proses sosialisasi yang sudah terkordinir secara apik dari
atas ke bawah melalui cabang-cabang yang sudah tersedia.
Sosialisasi
dan edukasi tentang perlindungan konsumen kepada masyarakat haruslah dilakukan
secara berkesinambungan, dengan cara-cara yang inovatif dan kreatif. Kalau
persoalan dana yang menjadi kendala, tentu pemerintah bisa mengatasinya dengan anggaran
yang sudah disediakan.
Cerdas dan Mandiri; Cinta Produk dalam Negeri
Menjadikan
masyakarat Indonesia sebagai konsumen yang cerdas dan mandiri tentu merupakan
cita-cita besar yang harus terwujudkan karena dengan itu bisa menjadikan
Indonesia sebagai bangsa yang lebih maju dan lebih kompetitif dengan bangsa
lain. Kita tidak mungkin bangga hanya dengan menjadi konsumen saja. Tidak akan!
Konsumen
yang cerdas dan mandiri tidak saja diartikan secara literal sebagaimana yang
termaktub dan terdefinisikan selama ini. Lebih dari itu, konsumen yang cerdas
dan mandiri adalah konsumen yang pada akhirnya lebih memilih produk dalam
negeri dibandingkan produk luar negeri. Bahkan, selama kecintaan terhadap
produk dalam negeri masih terkalahkan, menurut hemat penulis, siapa pun tak
bisa dikatakan sebagai konsumen yang cerdas dan mandiri. Karena konsumen yang
cerdas dan mandiri adalah mereka yang ingin memajukan negeri dengan merasa
bangga ketika yang melekat pada tubuhnya adalah hasil keringat bangsa sendiri,
dan untuk kemajuan dan martabat bangsa sendiri.
Komentar
Posting Komentar