Langsung ke konten utama

Revitalisasi Peran Mahasiswa dalam Mewujudkan Perdamaian Lintas Agama

Persoalan kekerasan atas nama agama, dalam segala bentuknya, bukanlah masalah yang baru bagi Indonesia. Sejarah mencatat ratusan, bahkan jika dikalkusi mungkin sudah mencapai ribuan, kasus yang berkaitan dengan kekerasan ini, baik kekerasan yang terjadi antar agama-agama, maupun kekerasan seagama. Bahkan berdasarkan beberapa laporan, dari tahun ke tahun kekerasan atas nama agama semakin meningkat. Menurut data Wahid Institute, sepanjang tahun 2012 telah terjadi 274 kasus kekerasan atas nama agama. Hal ini meningkat 1 % dari tahun 2011 yang berjumlah 267 kasus.

Sementara itu menurut Setara Institute, organisasi pemantau kebebasan beragama di Jakarta, ada 264 serangan terhadap minoritas agama pada 2012 dan ada 243 kasus serupa dalam 10 bulan pertama 2013. Fakta ini semakin menunjukkan bahwa kekerasan atas nama agama masih menjadi gurita yang mengerikan di negara ini, yang setiap saat bisa mengancam kehidupan dan stabilitas bangsa ini. Yang mengejutkan, para pelakunya hampir semuanya militan Sunni: targetnya jemaah Kristen, Ahmadiyah, Syiah, dan kaum Sufi.

Jika merujuk fakta sejarah yang lebih awal, maka terdapat beberapa peristiwa mengerikan tentang kekerasan atas nama agama yang telah banyak memakan korban, diantaranya; Peristiwa Tasikmalaya, Situbondo, dan Rengasdengklok (11 Februari 1997), Peristiwa Ketapang (22 Nopember 1998), Peristiwa Kupang (30 Nopember- 1 Desember 1998), Kerusuhan Poso (25 Desember 1998 – 2006), Kerusuhan Ambon (19 Januari 1999 – 2001), Insiden Monas Berdarah (1 Juni 2008), Kasus Penyerangan Jemaat HKBP Bekasi (1 Agustus 2010), Kerusuhan Temanggung (3 Oktober 2010), dan yang terbaru, meski cenderung politis, adalah penolakan FPI atas Ahok sebagai Gubernur Jakarta karena alasan berbeda agama. Ahok yang kristen berbeda dengan agama mayoritas warga yang akan dipimpinnya yang beragama Islam.

Berbagai data, fakta, dan realitas yang ada saat ini, semua harus mengakui, bahwa Indonesia berada dalam “zona merah” sebagai negara yang belum mampu menjamin penganut masing-masing agama untuk menjalankan aktivitasnya dengan tenang karena setiap saat bisa muncul konflik dan kekerasan yang tidak saja mengancam keyakinan dan iman mereka, tapi bahkan hidup mereka menjadi taruhan. Sehingga, perdamaian antar umat beragama menjadi seperti mimpi yang tidak bisa diwujudkan. Jaun panggang dari apinya. Kondisi semacam ini tidak bisa dibiarkan terus menerus karena pada akhirnya akan menggerus nilai-nilai Pancasila yang sudah disepakati sebagai pijakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak jika merujuk pada sila pertama, yaitu Ketuhanan yang Maha Esa.

Memang tidak mudah untuk menyelesaikan konflik berbau agama yang mengkristal di masyarakat. Selain karena mengakar sejak lama, subjektivitas para penganut agama semakin menguat terutama untuk hal-hal yang prinsip dan tidak bisa diganggu gugat, seperti amar ma’ruf nahi munkar dalam Islam. Terlebih hal itu didukung oleh karakter dan kuatnya otoritas yang ada disekitar mereka. Tentu diperlukan upaya yang ekstra keras dalam menyelesaikan dan mencari solusi untuk permasalahan ini. Perlu ada kesadaran semua pihak untuk menciptakan kepedulian dan bersama-sama bergerak, karena masalah ini tidak mungkin diselesaikan tanpa urun rembuk dan turun tangan dari banyak pihak.

Di lain sisi, kita harus mengapresiasi berbagai upaya yang telah dilakukan oleh banyak pihak mulai dari pemerintah, ormas, LSM, hingga komunitas-komunitas yang intens dalam permasalahan ini, termasuk mahasiswa sebagai kelompok pemuda yang mempunyai peran cukup signifikan dalam menciptakan perdamaian lintas agama. Mahasiswa dengan segala fungsi dan tugasnya mempunyai efek yang cukup penting dalam mewujudkan perdamaian itu, paling tidak jika dilihat dari sisi preventif. Dalam konteks ini mahasiswa mempunyai peran yang sama dengan para tokoh dan pemuka agama dalam menjelaskan kehidupan beragama yang dipenuhi rasa damai dan hidup rukun.

Peran Mahasiswa

Dalam PP No. 30 Tentang Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa mahasiswa adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar pada perguruan tinggi tertentu, yaitu lembaga pendidikan yang bertujuan untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau kesenian. Jika disederhanakan, mahasiswa adalah anggota dari suatu masyarakat tertentu yang merupakan “elit” intelektual dengan tanggung-jawab terhadap ilmu dan masyarakat yang melekat pada dirinya, sesuai dengan “tridarma” lembaga tempat ia bernaung.

Dalam beberapa literatur disebutkan beberapa peran mahasiswa terutama dalam konteks kehidupan sosial, yaitu; pertama, sebagai agent of change atau agen perubahan. Ada juga yang menyebutnya sebagai agent of social change. Kedua, mahasiswa sebagai social control atau kelompok yang mengontrol keadaan sosial di sekitarnya. Ketiga, mahasiswa sebagai iron stock atau generasi penerus. Keempat, mahasiswa sebagai moral force, yaitu kelompok dengan gerakan moral.

Dari keempat peran tersebut, tentu kita bisa melihat bagaimana posisi dan peran mahasiswa dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Mahasiswa mempunyai peran yang sangat penting dalam bersosialisasi dan memberikan pendidikan terhadap masyarakat. Peran mahasiswa dengan label intelektual yang dimilikinya tidak bisa dianggap remah karena dari mahasiswalah muncul ide-ide kreatif, gerakan-gerakan masif, serta berbagai solusi terhadap banyak permasalahan yang dihadapi, termasuk masalah kekerasan atas nama agama. Mahasiswa sebagai kaum yang “tidak gagap” terhadap berbagai macam isu diharapkan mampu memberikan pencerahan terhadap buramnya pemahaman maupun angkuhnya egoisme masing-masing pihak yang berselisih.

Tentu hal ini tidak mudah karena mahasiswa akan menghadapi resistensi yang sangat tinggi dari masyarakat terutama jika mereka sudah “kalap”, dan memutus segala bentuk penjelasan dan diskusi.

Revitalisasi Peran Mahasiswa; Sebuah Keniscayaan

Banyak kajian dan diskusi yang telah dilakukan untuk mencari solusi dan jalan keluar dari permasalahan kekerasan atas nama agama yang masih banyak ditemui di berbagai wilayah. Pada bagian ini, penulis perlu menjelaskan bahwa upaya revitalisasi peran bukan hanya untuk mahasiswa semata. Masing-masing pihak yang berkepentingan dan ingin mewujudkan perdamaian lintas agama ini harus juga merevitalisasi peran masing-masing karena harus diakui upaya yang mereka lakukan belumlah maksimal jika dibandingkan dengan semakin suburnya potensi kekerasan ini.

Pemerintah harus bersikap tegas terhadap segala bentuk kekerasan atas nama agama dan memberikan sangsi yang pantas bagi para pelaku. Karena bagaimana pun kekerasan adalah bagian dari perilaku kriminal yang menuntut adanya punishment. Selain itu, pemerintah harus mempunyai sistim regulasi yang jelas. Harus ada Undang-undang yang menjadi dasar dan patokan bersama sehingga alasan hukum untuk menjerat para pelaku menjadi mudah dan para pelaku tidak lagi menemukan alasan untuk berkelit. Dalam konteks ini, peran pemerintah berfungsi sebagai regulator dan punisher melalui kepolisian atau lembaga lainnya.

Sementara itu, sebagai upaya preventif, semua pihak terutama para tokoh agama diharapkan lebih bijak dalam memberikan keterangan-keterangan apalagi yang terkait dengan hal prinsip. Para tokoh agama mempunyai peran penting untuk membangun dialog serta diskusi lintas agama untuk menemukan dan menyemai perdamaian bukan dengan mengeluarkan fatwa-fatwa subjektif yang terkesan paling benar. 

Upaya dialogis harus tetap dilakukan untuk menekan dangkalnya pengetahuan yang menyebabkan munculnya kekerasan karena semua agama mencintai perdamaian. Termasuk dalam upaya ini adalah mahasiswa sebagai kaum muda yang diasumsikan dengan semangat dan gelora yang menggebu dalam menciptakan perubahan. Mahasiswa juga mempunyai peran preventif untuk mencegah terjadinya kekerasan sebagaimana peran para tokoh agama. Sehingga revitalisasi peran mahasiswa menjadi sebuah keniscayaan.

Kemudian bagaimana dengan revitalisasi peran mahasiswa dalam mewujudkan perdamaian lintas agama?

Hal ini bisa dilakukan dengan berbagai cara; pertama, membangun komunitas yang intens mengkaji dan membahas tentang kekerasan atas nama agama. Komunitas tersebut juga menciptakan program yang sifatnya bersinggungan langsung dengan masyarakat. Seperti dialog publik, seminar, dan kegiatan-kegiatan sosial. Munculnya acara-acara seperti Interfaith Camp, Interfaith Conference, perlu diapresiasi dan harus ditingkatkan. Kedua, upaya dialogis yang dibangun tidak lagi membicarakan perbedaan melainkan mencari sisi-sisi kesamaan yang masih dalam batas toleransi. Sebab jika diskusi dan kajian masih berkutat dengan perbedaan yang ada, maka hal itu justru semakin memperkeruh suasana. Ketiga, mahasiswa harus siap dan peka dengan kondisi sosial di sekitarnya. Mahasiswa harus benar-benar mempunyai kemampuan melalui belajar dan pengalaman. Mereka harus “berisi” terlebih dahulu sebelum benar-benar bisa menciptakan perubahan dalam masyarakat.

Keempat, mahasiswa harus lebih proaktif dalam mendukung upaya pemerintah, dan pada saat yang bersamaan harus kritis terhadap kebijakan-kebijakan serta undang-undang yang tidak adil dan cenderung diskriminatif. Kelima, sebagai bentuk nyata dari upaya yang dilakukan, mahasiswa yang tergabung dalam berbagai komunitas keagamaan (atau yang sifatnya Interfaith), menciptakan majalah atau bulletin yang bisa dinikmati oleh masyarakat banyak.

Terus Bergerak

Akhirnya, masalah agama barangkali merupakan yang paling sensitif di antara masalah yang lain karena persoalan Tuhan dan agama adalah sesuatu yang sakral. Karena sifatnya yang sensitif, masalah agama sering menciptakan konflik yang berujung pada kekerasan, bahkan pembunuhan. Banyak peristiwa dan kasus yang sudah tercatat dalam kehidupan bangsa ini.

Terus bergerak menuju perbaikan dan perubahan merupakan sebuah keniscayaan. Kerjasama yang apik dari berbagai pihak untuk menyelesaikan masalah ini menjadi sebuah keharusan. Dan mahasiswa sebagai agen dari perubahan mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memberikan penyadaran dan pengertian terhadap masyarakat tentang pentingnya perdamaian dalam perbedaan sebagaimana diamanatkan dalam ajaran masing-masing agama. 

Kekerasan bukan langkah menyelesaikan masalah, ia hanya akan mencerai-beraikan kerukunan sebagai acuan tata kehidupan berbangsa dan bernegara. Berusaha kembali pada Pancasila sebagai dasar negara merupakan langkah mutlak untuk menyatukan setiap perbedaan menuju kehidupan damai yang dicita-citakan. Itulah tujuan pokok dari revitalisasi peran mahasiswa dalam mewujudkan perdamaian lintas agama.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memimpikan Tarung Bebas Ide dan Gagasan di Pilkada Pamekasan

Pilkada serentak akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Setelah menyelesaikan Pilpres dan Pileg, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pemilu paling brutal, kerja-kerja elektoral sudah dimulai lagi. Tanpa jeda. Mereka yang berminat maju dengan hasrat politik yang kuat, sejak lama sudah mengepalkan tangan. Membentuk tim di darat, laut, dan udara; sosialisasi dari kampung ke kampung; memasang baliho-baliho di jalanan atau gambar-gambar  bersliweran  di media sosial; memastikan kesiapan logistik di lapangan; menyambangi tokoh-tokoh berpengaruh; serta mendekati orang-orang penting di partai; termasuk juga lobi-lobi politik "jalur langit". Partai politik menghidupkan mesinnya. Mulai dari persiapan teknis-administratif seperti penjaringan calon; membuka komunikasi lintas partai untuk menjalin koalisi; melirik-lirik dan menguntit calon potensial; memetakan kekuatan politik di lapangan; dan tentu saja kerja-kerja elektoral untuk menaikkan nilai tawar. Kita bisa mel...

“Koalisi Biru”, Bangkit Bersama untuk Pamekasan ber-Kharisma

Sampai akhirnya muncul secara samar nama pasangan KH. Kholilurrahman - Sukriyanto (Kharisma) , tak banyak yang meyakini pasangan ini akan benar-benar maju. Lebih tepatnya dunia perpolitikan di Pamekasan banyak yang meragukan pasangan ini akan mendapatkan rekomendasi dari partai. Terlebih, asumsi sumir itu kemudian dikaitkan dengan kemampuan logistik yang kerap kali dicibir. Konstelasi perpolitikan di Pamekasan memang unik, dalam beberapa sisi cenderung lebih menarik. Ada begitu banyak hal yang ternyata tidak selesai hanya dengan selesainya urusan logistik. Anda boleh saja menaburkan “rudal balistik” sedemikian rupa, tapi ada masanya itu menjadi tidak berharga ketika Anda menyalahi “negosiasi”, “parembhegen” dan “tengka” . Pada Pilpres di Kabupaten Pamekasan kemarin kita bisa melihatnya secara nyata. Lalu, ketika rekomendasi dari Gelora, Demokrat, NasDem, dan terakhir PAN benar-benar sudah di tangan, banyak kalangan yang tercengang dan kaget. Bisik-bisik terdengar, “kok, bisa, ya?”, “j...

Koperasi dan Optimalisasi Peluang Indonesia Menghadapi Krisis Global

Badai Krisis Global; Koperasi Sebagai Senjata Akhir-akhir ini, dunia global sedang menghadapi permasalahan akut yang sangat mengerikan, yakni badai krisis global. Sepanjang tahun 2011, isu krisis utang dan defisit anggaran di Yunani membuat goncangan-goncangan ekonomi terutama di pasar keuangan global. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Negara-negara Eropa (yang tergabung dalam UE) belum bisa memulihkan kepercayaan para investor, bahkan ada semacam nada pesimistis, bahwa badai ini akan berlangsung lama.  Maka, tidak aneh ketika Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi, pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan turun menjadi 3,4 persen, dari 3,6 persen tahun lalu. Badai belum berlalu. Inilah kalimat yang pas untuk menggambarkan kondisi perekonomian global yang serba tidak pasti saat ini, yang pada akhirnya akan menyeret Negara-negara lain di dunia untuk masuk dalam lingkaran membahayakan itu. Cina mulai tertanggu, Jepang juga bernasib sama dengan jum...