Dunia pendidikan Indonesia kembali diguncang dengan munculnya beberapa kasus yang (lagi-lagi) memalukan. Paling tidak ada tiga kasus mencengangkan yang muncul justru di tengah kampanye dan sosialisasi kurikulum teranyar plus pendidikan karakter yang digembar-gemborkan; curat-marut pelaksanaan UN, kekerasan dalam dunia pendidikan (kasus STIP), dan pelecehan seksual terhadap anak didik (seperti kasus JIS misalnya).
Tak ada bahasa lain untuk menjelaskan itu kecuali teori
anomali dan kontrapoduktif, bahwa pendidikan yang sejatinya mempunyai tujuan
mulia dan menjadi tumpuan untuk memajukan bangsa ini, justru menjadi “sarang”
munculnya amoralitas dan karakter-karakter negatif. Belum lagi kalau itu
dikaitkan dengan birokrasi serta akuntabilitas penggunaan dana melimpah yang
belum jelas juntrungannya.
Fenomena dan kenyataan seperti ini,
di satu sisi bisa memunculkan optimisme dan semangat untuk perubahan yang lebih
berarti, tapi di sisi lain justru semakin mempertajam apatisme terhadap dunia
pendidikan secara khusus, bahkan bangsa Indonesia secara umum, karena siapapun
harus mulai realistis, bahwa kalau tetap dibiarkan seperti ini, tinggal
menunggu waktu saja untuk benar-benar menjadi bangsa yang terbelakang. Sisi
yang terakhir inilah yang banyak bermunculan dan semakin tumbuh subur.
Reformasi pendidikan yang digaungkan, ternyata jauh panggang dari api, sebagaimana kenyataan bahwa reformasi Indonesia juga tak jelas arahnya. Reformasi pendidikan hanya menghasilkan serangkaian konsep, aturan, perundang-undangan yang sarat kepentingan mengatasnamakan kesetaraan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Modifikasi Undang-undang sisdiknas yang lebih “berperasaan” seakan sengaja dibuat untuk menjadikan anak didik bermental kerupuk, bukan pejuang.
Mereka membuat memperkenalkan konsep
agar “pendidikan dan belajar itu menyenangkan”, padahal mereka besar dan lahir
pada masa dimana pendidikan dan belajar itu adalah perjuangan. Senang dan tidak
senang, belajar tetap perlu usaha dan kerja keras. Sebut juga tentang kurikulum
pendidikan yang sering bergonta-ganti. Satu cara belum matang dan belum
diketahui hasilnya, pindah ke cara lain. Ganti Menteri, ganti kebijakan. Ganti
pengurus, ganti peraturan. Begitu seterusnya. Tak pernah usai.
Akhirnya, sampai pada titik dimana, barangkali Indonesia tidak hanya perlu reformasi pendidikan tapi justru yang lebih ekstrim lagi, yaitu re-engineering pendidikan. Membangun kembali pendidikan Indonesia dari awal. Hancurkan dulu, bangun kemudian. Memang betul untuk membunuh tikus yang ada dalam sebuah kandang, tidak perlu menghancurkan kandangnya, tapi masalahnya tikus-tikus sudah menguasai kandang (sebagaimana analogi alm. Gus Dur).
Berbagai permasalahan yang mengungkung dunia pendidikan
sudah terlalu njlimet dan demikian komplek. Rakyat mulai tidak sabar,
beberapa pihak juga mulai tidak sadar. Potensi masalah masih berkelanjutan. Re-engineering
pendidikan memerlukan kesadaran beberapa tokoh dan bapak bangsa untuk urun
rembuk dan bekerja membangun pendidikan bangsa ini, tanpa kepentingan apapun
kecuali perubahan.
(tulisan ini pernah dimuat di Proton Mahasiswa, SINDO)
Komentar
Posting Komentar