![]() |
| Sumber: Freepik |
Dulu, awal-awal media sosial baru dikenal, banyak orang mengalami "culture shock", sebuah kekagetan ketika dihadapkan dengan cara komunikasi baru yang semakin mudah dengan banyak fitur pendukung lain yang cukup menyenangkan. Tinggal klik, beberapa menggunakan syarat untuk saling-berteman, langsung bisa menjalin komunikasi dengan siapapun dan dimanapun.
Beberapa tahun lalu, saat baru menggunakan aplikasi Facebook, kita cenderung asal menambahkan pertemanan. Hampir siapa saja, terutama jika tampilannya "menyegarkan". Begitu juga dengan twitter, yang lebih simpel karena tak ada persyaratan harus saling-mengikuti. Seperti kenikmatan tersendiri, memiliki banyak teman di "dunia lain" sana.
Tahu-tahu saja, misalnya, pertemanan kita sudah ribuan, sudah mengikuti ribuan akun, sudah nge-add ribuan akun, dan sudah berinteraksi dengan banyak akun.
Jika dikalkulasi, teman yang benar-benar kenal mungkin tak seberapa dibandingkan dengan "teman baru" yang tak pernah kita tahu dan tak pernah ketemu. Ada sebagian yang nyambung secara komunikasi dan menjadi teman dumay yang asyik, selebihnya, dibiarkan saja.
Kita hitung saja, ada berapa ratus atau mungkin berapa ribu, teman Facebook kita yang sebenarnya tidak kenal, tidak pernah komunikasi, dan dibiarkan begitu saja dengan tanpa kepentingan apapun sementara masih tetap berteman? Banyak! Itu baru Facebook. Bagaimana dengan yang medsos lainnya?
Akhirnya, seiring dengan perkembangan, pada titik tertentu, kita mungkin merasa jenuh. Apalagi isu dan informasi yang disebarkan di medsos penuh dengan "racun" berbahaya. Lebih-lebih jika berada di tahun politik, benar-benar dunia medsos kita berubah seperti perang. Penuh centang perenang. Berisik sekali.
Kita, tentu saja tak bisa memungkiri peran penting media sosial, pada satu sisi. Ia bisa menjadi media untuk menjalin silaturrahmi; sebagai sarana untuk menambah ilmu pengetahuan; sebagai wadah untuk menampung berbagai informasi penting; sebagai salah satu akses untuk membuka jendela dunia; sekaligus dalam banyak kasus menjadi awal dari perubahan, pergerakan, bahkan memicu lahirnya peristiwa-peristiwa besar.
Tapi tak bisa menutup mata juga, bahwa medsos menjadi tempat terbaik untuk menyebarkan hoaks, fitnah, dan informasi bodong yang mampu memainkan dan menyiksa psikologis masyarakat kita. Banyak kasus terjadi karena dunia medsos yang semakin liar. Berbagai kejahatan, tak sedikit yang bermula dari medsos. Konflik sosial meruncing karena interaksi tak sehat di dunia maya. Kita seperti masuk kembali pada proxy war, yang semakin menguatkan kecurigaan, kebencian, dan permusuhan.
Pilihannya, barangkali hanya dua: berhenti atau bergerak ke arah yang lebih "substantif". Pilihan pertama telah banyak dilakukan oleh orang-orang. Mereka berhenti dari riuh dan gaduhnya dunia medsos. Konon, sebagiannya merasa seperti menjadi manusia kembali. Lebih segar dan nyaman menjadi kehidupan sebagaimana manusia normal yang tak menghabiskan waktunya hanya untuk mlototin layar. Telah banyak membuktikan, merasa lebih sehat.
Sementara pilihan kedua, merubah medsos menjadi semakin positif dan terlibat hanya pada hal-hal yang dianggap penting. Benar untuk silaturrahmi, membatasi informasi hanya untuk yang bergizi, menimba sebanyak ilmu, atau sekedar menikmati hal-hal lucu yang menyenangkan. Inilah proses pendewasaan dalam bermedsos itu, yakni munculnya kesadaran untuk menjadikan medsos sebagai sarana memperoleh manfaat sebesar-besarnya.
Apakah ciri-ciri pendewasaan dalam bermedsos itu?
Pertama, mulai membersihkan pertemanan dari orang-orang yang tidak kenal, bukan teman, tak saling berhubungan, dan dirasa tak mungkin memiliki kepentingan. Membuang akun-akun dengan nama-nama tak jelas, alay, dan sembarangan atau akun-akun yang, sepertinya, sudah tidak dipakai.
Menyisakan mereka yang memang teman dan kenal, akun-akun bermanfaat seputar ilmu pengetahuan, atau mereka yang dianggap asyik dan menjadikan medsos terasa nyaman. Secara naluriah, cenderung semakin dewasa memang circle pertemanan kita semakin terbatas, kadang hanya interaksi dengan orang-orang dekat.
Kedua, memperbaiki status atau menghapus yang sudah lama dan dianggap tidak representatif untuk hari ini. Semua isi medsos kita "diperindah" berdasarkan keyakinan kita masing-masing tentang banyak hal yang menurut kita benar dan baik. Ketiga, menjauhi akun-akun serta pertemanan yang berpotensi menyebarkan racun, virus, dan penyakit membahayakan bernama hoaks.
Jadi, kita mesti semakin dewasa dalam bermedsos. Harusnya, kita sudah melewati atau menimalnya menjadikan medsos tak seperti perang dan semakin bising, membuat pusing. Mulai memilah dan memilih mana yang baik dan benar.
Medsos, mestinya menjadi sarana untuk menambah informasi, membuka jendela dunia, silaturrahmi, dan tempat yang memberikan manfaat serta kebahagian. Semua itu dimulai dengan timeline yang sehat dan segar, tak ada pilihan. Jika cukup berani, tinggalkan. Tak usah lagi menggunakan medsos jika isinya hanya hal-hal sialan.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengalami Pendewasaan dalam Bermedsos", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/mustapep/5dd91681097f367bef06b652/mengalami-pendewasaan-dalam-bermedsos?page=3&page_images=1

Komentar
Posting Komentar