Sebelumnya, penulis perlu memberikan aksentuasi, bahwa tulisan ini tidak untuk menjelaskan Maulid Nabi dalam konteks fiqihistik (meminjam istilah Bhayu Sulistiawan) yang rumit dan debatable, terutama silang-sengkarut yang tak kunjung usai antara yang pro dan yang kontra, antar ormas Islam yang saling “berjibaku” untuk mendapatkan klaim terbaik atas pelaksanaan ibadah sesuai syari’at. Selain akan mengulangi pembahasan yang sama, penulis tidak mempunyai kapasitas keilmuan yang cukup untuk menjelaskan hal itu. Sedikit saja, barangkali ada. Tapi itu pun untuk menjelaskan hal yang substantif dan dirasa perlu untuk dijabarkan. Sehingga, penulis pikir, dalam polemik fiqihistik berkepanjangan tersebut, perlu untuk membuat “kaidah” baru, yaitu: lakum yaqinukum, wali yaqini. Tidak perlu ada justifikasi sarkastis yang membuat Islam tampak bukan sebuah rahmat, karena para pemeluknya saling menghujat.
Penulis lebih tertarik mengarahkan pembahasan tentang fenomena perayaan Maulid Nabi ini ke dalam konteks pendekatan sosio-psikologis (socio-psychological approach) karena memungkinkan kita melakukan kajian yang lebih dinamis; sehingga dapat mempertemukan proses dialektika yang lebih berjarak dari klaim dogmatis yang cenderung kaku karena pemaknaan yang dikotomis; hitam-putih. Penggunaan perspektif sosio-psikologis ini (yang jauh lebih universal) menjadi keniscayaan karena perayaan Maulid Nabi, dalam sejarahnya, tidak lahir dari ruang hampa, yang turun seketika dari langit berupa sabda. Ia lahir dari “kegelisahan” psikologis dalam realitas sosial yang mengkhawatirkan karena tekanan terhadap umat Islam yang semakin kuat, dan pada saat yang bersamaan umat Islam mulai kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan.
Fenomena semacam ini menjadi menarik ketika kita menyepakati bahwa peringatan maulid nabi adalah bagian dari syi’ar Islam: upaya menghidupkan suasana yang bernuansa islami. Syi’ar dalam arti bukan sesuatu yang qath’i (taken for granted). Hal ini pernah dicontohkan oleh Wali Songo ketika menyebarkan Islam di Tanah Jawa dengan cara penetrasi dan membaur dengan tradisi lokal. Ketika Maulid Nabi adalah bagian dari syi’ar, maka ia memberikan peluang untuk dikolaborasikan dengan kearifan lokal (local wisdom) masing-masing daerah, sehingga kita akan menemukan perayaan Maulid Nabi yang berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya di Indonesia, bahkan dengan wilayah lain di dunia. Hanya kemasannya yang berbeda, tapi isi dan substansinya sama: mengenang, membaca kembali, dan momentum untuk kembali meneladani kehidupan Nabi Muhammad SAW., sekaligus sebagai ekspresi kegembiaraan dan perhormatan kepadanya.
Di indonesia saja, maulid nabi dirayakan dengan berbagai cara dan istilah. Di Jogja, ada istilah sekaten (berasal dari syahadatain) dengan perayaan meriah dalam upacara Grebeg Maulud. Di Padang Pariaman ada Bunga Lado, yaitu pohon hias berdaunkan uang atau pohon uang. Di Garut ada upacara Ngalungsur Pusaka (membersihkan pusaka peninggalan Sunan Rohmat atau Kian Santang), sementara warga Loram Kulon, Kudus memiliki upacara yang disebut Kirab Ampyang. Keresen adalah acara memperingati Maulid Nabi di Dusun Mangelo, Mojokerto. Keraton Cirebon memiliki tradisi Panjang Jimat, sedangkan di Cikoang, Takalar, Sulawesi Selatan ada tradisi Maudu Lompoa Cikoang. Begitu pula dengan Madura, yang masyarakatnya mempunyai tradisi Muludhen atau Mulottan.
Sejarah Maulid Nabi
Tentu akan terlalu panjang jika penulis harus menjabarkan secara lengkap sejarah Maulid Nabi, terlebih perdebatan tentang siapa yang pertama kali melaksanakannya. Namun, dalam beberapa literatur, sejarah perayaan Maulid Nabi terdapat beberapa versi: versi pertama yang mengatakan bahwa yang mengadakan perayaan Maulid Nabi pertama kali adalah Raja Irbil (wilayah Irak sekarang) bernama Muzhaffaruddin al-Kaukabari, pada awal abad ke-7 Hijriyah. Versi kedua mengatakan bahwa Salahuddin al-Ayyubi-lah orang pertama yang melaksanakannya. Sementara versi ketiga mengatakan bahwa perayaan Maulid Nabi diprakarsai oleh Dinasti Fatimiyyun.
Dari berbagai versi tersebut, paling tidak ada beberapa hikmah yang dapat diambil. Pertama, hikmah sosial. Hal ini ditunjukkan oleh Muzhaffaruddin al-Kaukabari yang merayakan Maulid Nabi secara besar-besaran. Sultan mengundang seluruh rakyatnya dari berbagai lapisan dan kalangan. Ribuan kambing dan unta disembelih sebagai hidangan untuk mereka yang datang. Selain bergembira atas lahirnya Rosul pujaan, perayaan itu juga dimaksudkan untuk memupuk nilai-nilai sosial berupa sedekah dan berbagi. Kedua, hikmah psikologis. Hal ini dapat ditemukan pada tujuan Shalahuddin al-Ayyubi melaksanakan Maulid Nabi yaitu untuk membangkitkan semangat umat Islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela Islam pada masa Perang Salib. Artinya, Shalahuddin al-Ayyubi menjadikan Maulid Nabi sebagai momentum psikologis untuk perubahan.
Muludhen: Sebuah Momentum Sosio-psikologis
Sebelum membahas tentang Muludhen, perlu diketahui bahwa kehidupan sosial masyarakat di Madura secara umum tidak bisa dilepaskan dari tasyakuran, bahkan dilakukan untuk hal-hal yang ‘sederhana’. Seperti saat hendak memondokkan anak ke Pesantren, membeli motor atau mobil baru, mau menempati rumah baru, mau berangkat menjadi TKI atau saat pulangnya, mau melaksanakan ibadah haji dan pulangnya, bahkan saat anaknya khatam al-quran, tidak luput dari acara tasyakuran. Biasanya yang mempunyai hajat mengundang tetangga untuk berdoa bersama, dan diakhiri dengan menghidangkan makanan semampu yang bersangkutan. Bagi yang lebih mampu secara finansial, biasanya ada pemberian berkat atau besek, berisi nasi lauk-pauk dan kue. Itu masih ditambah dengan budaya ter-ater, yaitu mengantarkan sepiring makanan untuk tetangga dekat, dari rumah ke rumah dengan mempergunakan talam. Tradisi ini, sampai sekarang tetap eksis dan menjelma menjadi suatu kekuatan sosial yang luar biasa.
Begitu pula saat Muludhen. Muludhen (dari kata Maulid yang berarti hari lahir atau kelahiran), adalah perayaan yang dilaksanakan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW di Madura, yang memiliki keunikan tersendiri karena berlangsung selama satu bulan penuh yakni selama bulan Robi’ul Awal, bulan kelahiran Rosulullah. Shalawat atas Nabi, pembacaan Barzanji, dan tradisi Mahallul Qiyam berkumandang dari setiap tempat di Madura; mulai dari langgar, musolla, masjid, sekolah, hingga rumah-rumah. Selama satu bulan itu, setiap hari, secara bergantian dengan sistem acak yang tak terumuskan, masing-masing keluarga mengundang keluarga yang lain untuk merayakan Muludhen. Silih berganti. Ada yang mengundang setelah dzuhur, ada yang setelah ‘ashar, dan ada pula yang dilaksanakan setelah ‘isya. Pada malam tanggal 12 Robi’ul Awal, biasanya seluruh masyarakat berkumpul di Masjid untuk melaksanakan perayaan Maulid Nabi secara bersama-sama dengan membawa makanan dan nampan berisi segala jenis buah.
Tradisi Muludhen ini biasanya diisi dengan serangkaian acara, dimulai dengan pembacaan Fatihah, lalu pembacaan Barzanji yang berisi perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW. sejak dilahirkan sampai wafatnya. Setelah itu ditutup dengan pembacaan do’a. Sebagian, setelah pembacaan Barzanji, dilanjutkan dengan ceramah agama untuk menjabarkan secara lebih jelas dan gamblang sejarah Nabi serta hikmah pelaksanaan Maulid Nabi. Di beberapa daerah, ada yang menggunakan musik hadrah atau rebana sebagai musik pengiring. Selain itu, ada beberapa “sub-tradisi” lain di beberapa tempat di Madura sebagai wujud memeriahkan Muludhen, seperti tradisi lempar uang receh, di kampung Sogeh, Desa Ba’engas, Kecamatan Labang, Bangkalan. Ada juga pembacaan macopat selama semalam suntuk seperti di Sokalelah, Kadur, Pamekasan. Sementara di Sumenep, ada pawai umum keliling sepanjang jalan protokol dengan lampion (ada yang menggunakan odong-odong) yang dihias. Perayaan itu belum termasuk pelaksanaan berbagai macam lomba yang dilaksanakan di lembaga-lembaga pendidikan.
Pelaksanaan Muludhen di Madura, secara sosio-psikologis, bisa dimaknai dalam beberapa hal. Pertama, untuk mempererat tali silaturrahmi dan persaudaraan. Rasa persaudaraan yang dibangun melalui silaturrahmi merupakan akar kehidupan sosial dalam Islam. Di tengah kehidupan individualistik yang semakin menguat, maka silaturrahmi menjadi solusi penting sebagai perekat tali persaudaraan karena pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial yang kehidupannya tidak bisa lepas dari kehidupan manusia yang lainnya. Ini bukan hanya persoalan diktum zoon politicon yang terkenal, tapi juga kesadaran, bahwa silaturrahmi adalah perintah, dan memutus tali silaturrahmi adalah hal yang dibenci dalam Islam. Dengan Muludhen, upaya saling mengundang dan bercengkrama dalam sebuah majlis adalah sebuah keniscayaan sehingga dapat meningkatkan attachment antar masyarakat, paling tidak melalui saling berjabat tangan.
Kedua, meningkatkan kesalehan sosial. Di tengah gelombang materialisme yang semakin mengakar, kebiasaan untuk memberi sebagian rizqi ketika melaksanakan sebuah hajatan merupakan wujud altruisme masyarakat Madura untuk melestarikan sedekah. Begitu pula dengan tradisi Muludhen, dimana tuan rumah selain memberikan hidangan makan di tempat, biasanya disediakan juga berkat atau besek yang berisi makanan, kue, dan buah-buahan. Tentu semuanya disesuaikan dengan kemampuan finansial tuan rumah. Dalam konteks kekinian, dalam hidup yang serba hitung-hitungan untung rugi, kebiasaan semacam ini menjadi paradoks. Tapi masyarakat Madura selalu menjadikan keberkahan (ngalap berkah) sebagai logika paling logis untuk menjelaskan “pengorbanan” dalam syi’ar dan memeriahkan kelahiran Baginda Nabi Muhammad SAW. Dengan dua hal tersebut, setidaknya dapat meminimalkan konflik sosial dan kerentanan sosial (social susceptibility) yang mulai menjangkiti masyarakat kita.
Ketiga, dalam konteks Psikologi Agama, perilaku seseorang juga ditentukan oleh belief dan prinsip beragama yang dipegangnya, sehingga agama dan ajarannya juga menjadi salah satu faktor yang dapat menunjang dan meningkatkan kebahagian (well-being) seseorang. Analoginya sederhana: menjadi orang “baik” itu bukan sekedar tuntutan psikologis semata, tapi Agama memerintahkannya. Pelanggaran terhadap ajaran agama pun berpengaruh terhadap meningkatnya mental illness seseorang. Banyak orang merasa lebih tenang, tentram, dan bahagia lantaran meyakini dan melaksanakan perintah agama dengan baik. Hal ini telah banyak dijelaskan dalam jurnal-jurnal penelitian yang akuntabel. Artinya, kebahagiaan psikologis seseorang juga ditemukan dalam pengorbanan terhadap agama. Barangkali benar, agama menjadi motivasi paling sakral dalam memunculkan perilaku seseorang. Sesuatu yang dibungkus atas nama agama, akan mengalami pembelaan luar biasa dari penganutnya. Jangankan harta, bahkan nyawa pun akan dikorbankan. Fenomena kekerasan antar agama, antar aliran agama, dan terorisme yang terjadi akhir-akhir ini cukup menjadi representasi.
Dalam konteks Muludhen, membangun hubungan yang baik secara horizontal (dengan memperbanyak silaturrahmi) serta meningkatkan keshalehan sosial melalui sedekah sebagai wujud rasa syukur akan mampu menjadikan Muludhen sebagai momentum sosio-psikologis untuk mendapatkan substansi perayaan Maulid Nabi yang sebenarnya. Tidak hanya keshalehan secara sosial, tapi juga keshalehan secara spiritual karena bagaimanapun bershalawat atas Nabi (bahkan Allah dan Malaikat-malaikatNya melakukannya juga), berilmu, dan berdoa adalah perintah agama yang pada akhirnya akan mengerucut pada hubungan yang baik secara vertikal (hamba – Tuhan).
Pergeseran Nilai dan Repurifikasi
Pada perkembangannya, perayaan Muludhen, seperti mengalami pergeseran nilai (friction of values). Sejatinya, kalau kita sudah sepakat bahwa Muludhen adalah bagian dari syi’ar, wajar saja ketika ia mengalami perubahan dan pergeseran nilai sesuai dengan kesepakatan masyarakat selama tidak menyimpang dari substansi awal. Pergeseran yang penulis maksud terletak pada budaya konsumtif yang berlebihan pada perayaan itu sendiri. Budaya memberikan makanan dan berkat atau besek seakan tampak semakin “wah”, sehingga mengesankan adanya adu meriah, adu banyak hidangan, dan adu banyak “bawaan” setelah pulang. Awalnya dimulai dengan seorang warga yang memiliki kemampuan finansial lebih, lalu teori konformitas sosial (social conformity) memainkan perannya sehingga kebiasaan itu menyebar.
Asumsi ini tentu tidak untuk mengeneralisir, tapi bahwa realitas seperti itu sudah mulai berkembang, kita tidak bisa menutup mata. Seperti ada persaingan antar tetangga untuk merayakan Muludhen secara besar-besaran, dan bahkan merasa malu jika tidak menggelar Muludhen sehingga ketidak-mampuan finansial akan diatasi dengan cara berhutang terlebih dahulu, misalnya. Pada kondisi tertentu, perayaan Muludhen bahkan menjadi ajang untuk mengukuhkan identitas dan status sosial dalam masyarakat. Secara kasat mata pergeseran itu barangkali tidak tampak, karena tidak ada yang tahu hati dan niat seseorang, tapi dalam konstruk sosial itu sangat dirasakan, terutama bagi warga yang tidak mampu. Merayakan secara besar-besaran tentu sah-sah saja, yang negatif adalah ketika itu dijadikan ajang untuk show off.
Melihat fenomena seperti ini, tentu perlu adanya repurifikasi atau pemurnian kembali makna dan substansi perayaan Muludhen. Karena yang urgen adalah perayaannya yang khusyu’, khidmat, dan berkah bukan hanya soal semata berkat dan hal remeh-temeh lainnya. Sehingga perayaan Muludhen tidak dikonotasikan dengan Mulut alias sesuatu yang konsumtif dan berhubungan dengan makanan saja. Muludhen harus menjadi momentum membaca dan meneladani kembali kehidupan Nabi Muhammad SAW., sekaligus sebagai ekspresi kegembiraan dan perhormatan kepadanya, juga untuk meneguhkan keshalehan sosial-spiritual dan tentu saja perubahan menuju lebih baik, dengan tanpa berlebih-lebihan.
Komentar
Posting Komentar