![]() |
| Sumber: mediadakwah.id |
Hijrah itu fitrah. Hijrah adalah momentum perubahan, baik tempat, fisik, psikologis, perilaku, kebiasaan, dan lainnya. Sementara perubahan harusnya hanya untuk kebaikan, kemajuan, dan kebermanfaatan. Sebab itu, semangat untuk hijrah (mestinya) dimiliki oleh semua orang. Berpindah, berubah.
Tahun baru hijriyah selalu dimaknai sebagai perubahan, dari asal kata dan sejarahnya saja sudah menggambarkan soal perpindahan. Jika dulu adalah hijrahnya Nabi Muhammad bersama sahabat Abu Bakar dari Makkah ke Madinah (Yatsrib), maka secara kontekstual hijrah lalu dimaknai sebagai perpindahan (dalam arti perubahan ke arah yang lebih baik).
Semangat inilah yang kemudian menjadikan hijrah bukan lagi soal waktu dan tempat, tapi juga soal mindset, sifat, sikap, perilaku, dan lainnya. Maka, hijrah bisa terjadi setiap hari, bahkan setiap detik. Dimana saja, kapan saja. Bisa terjadi disini, mungkin disana. Sesuai keinginan hati, yang terus berbolak-balik.
Itulah kenapa dalam hadits Nabi dikatakan, bahwa yang hari ini lebih buruk dibandingkan kemarin itu celaka, yang hari ini sama dengan yang kemarin itu rugi, yang hari ini lebih baik dari yang kemarin itulah yang beruntung. Artinya, perubahan menuju kebaikan adalah keniscayaan tanpa henti. Terus menerus sampai mati.
Dari yang malas, menjadi lebih rajin. Dari yang suka tidur pagi, lalu bangun olah raga atau jalan-jalan keliling kampung. Dari yang suka telat shalat, berubah untuk bergegas. Dari yang suka bohong, belajar untuk lebih jujur. Dari yang suka ngerasani dan gosip, berpikir untuk berhenti dan jaga mulut. Intinya, dari hal-hal yang sederhana, kebiasaan dan pola hidup sehari-hari saja.
Bagaimana dengan hijrah secara tempat? Bisa saja, sebagaimana hijrah-tempatnya Rasulullah dulu. Berpindah tempat, menjadi awal dari perubahan. Jangankan tempat, merubah posisi tubuh pun bisa memengaruhi perubahan psikologis seseorang. Itulah kenapa kita perlu beranjak untuk merubah suasana, kadang perlu mengatur ulang posisi benda-benda di rumah untuk mendapatkan sesuatu yang beda. Termasuk juga istilah healing yang sedang trend di kehidupan masa sekarang.
Maka, ditilik dari sisi manapun, hijrah menuju kebaikan itu keren sebab akan selalu ada proses tak mudah yang kemudian menjadikan sesorang sadar, bahwa ia harus berubah. Ia tak bisa terus menerus seperti ini. Ia harus hijrah. Kadang, harus melakukan itu "berdarah-darah", meninggalkan yang sebelumnya dianggap tak terarah.
Siapapun ingin berubah. Setelah dianggap berubah, kadang punya kecenderungan untuk mengubah. Atas dasar saling mengingatkan dalam kebaikan, agar sama-sama melakukan hijrah. Tapi, hijrah bukanlah memaksa. Urusan seseorang mau atau tidak, itu urusan Allah. Rasulullah pernah ditegur langsung oleh Allah, bahwa bahkan Rasulullah pun tidak bisa memberikan hidayah pada orang yang dicintainya.
Hijrah juga tidak mungkin dilakukan dengan salah kaprah. Lebih-lebih langsung mencaci dan menghujat apa yang sebelumnya menjadi bagian dari dirinya.
Kita sering melihat, orang yang oleh Allah diberi hidayah, lalu hijrah dari agama tertentu menjadi seorang muslim. Tak lama kemudian, kita melihat ia wira-wiri di media sosial menceritakan soal proses hidayahnya yang heroik dan monumental, sambil sesekali jelek-jelekin bekas agamanya dan mantan Tuhannya. Kadang secara satir, kadang juga terang-terangan. Ngenyek, kata orang Jawa. Sebentar kemudian ia menjadi pendakwah, penceramah. Gelarnya ustadz.
Kita juga sering melihat, orang yang oleh dibuka pintu hatinya lalu memilih meninggalkan dunia gelap dan premanisme menuju hamba rajin ibadah. Tak lama, ia menceritakan proses hijrahnya dari satu medsos ke medsos lainnya. Terkenal. Lalu ngomong asal dan kasar soal profesi sebelumnya yang ia tekuni, seolah lucu tapi menyakitkan bagi teman-temannya yang belum hijrah. Sebentar kemudian, serentak memggelarinya ustadz. Diundang sana-sini untuk menjadi penceramah.
Lalu, sering kita dengar saat artis-artis melakukan hijrah. Dari yang asalnya terbuka lalu mengenakan hijab, atau mulai rutin menggunakan kopiah, baju koko, bercelana cingkrang dan berjenggot, serta meninggalkan profesi sebelumnya sebagai artis atau memoles keartisannya dengan cara yang lebih baik dan sesuai ajaran agama dan pembimbingnya. Sebentar kemudian, netizen menggelarinya ustaz/ustazah.
Keren. Sebab posisinya sebagai artis, ia bisa tetap wira-wiri di media. Menampilkan cara beragama yang jauh berbeda, serta memaknai hidup lebih seksama, bahwa dengan hijrah siapapun masih bisa mengaktualisasikan dirinya dan profesinya. Hingga kemudian jualan atau endorse produk dengan bumbu-bumbu agama, beberapa kali kadang melakukan blunder dengan menjelaskan hukum tidak sesuai tafsirnya. Ini haram, itu dilarang.
Keren jika bisa hijrah, mampu berubah. Tapi jangan buru-buru untuk merubah. Berubah adalah soal personal, sementara merubah tidak sesederhana yang dipikirkan. Ada begitu banyak sekali hal yang mesti dipertimbangkan. Betul, kita mesti sampaikan kebaikan walau satu kata dan itu pahit, tapi menghargai pilihan orang lain itu juga pilihan yang baik. Maka, memperbaiki terus-menerus lebih diutamakan.
Dakwah terbaik tetap melalui cara-cara hikmah dan mau'idzah hasanah yang disampaikan secara elegan. Bukan teriak-teriak tidak karuan, atau menyampaikan secara lembut tapi nyelekit, seolah yang disampaikan paling benar. Kita, sekarang, banyak disajikan pemandangan yang seperti itu.
Tapi apapun, hijrah itu tetap keren. Semoga semangat hijrah terus membersamai kita untuk menjadi lebih baik, lebih luas cakrawala pengetahuan dan pengalaman sehingga mampu menghargai setiap pilihan sendiri dan pilihan orang lain yang berbeda. "Hijrah jangan jauh-jauh, nanti kesasar", begitu banyak orang katakan.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Hijrah Itu Keren, tapi...", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/mustapep/61134f020101903f6045c172/hijrah-itu-keren-tapi?page=2&page_images=1

Komentar
Posting Komentar