Siang itu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Ambon, Maluku. Di luar, cuacanya adem karena baru saja turun hujan. Masih ada sisa-sisa basah yang menempel di sepanjang kaca Garbarata. Saya disambut dengan bunga-bunga yang diletakkan dalam pot sepanjang lorong, sebagai pemisah jalan antara yang masuk dengan yang keluar.
Saya bersama rombongan langsung menuju tempat menunggu koper dan barang-barang bawaan lainnya, di lantai bawah.
Waktu itu, Bandara Pattimura tak seindah sekarang yang sudah lebih mewah setelah revitalisasi dan beutifikasi. Perluasan kawasan Bandara sekaligus menambah jumlah garbarata. Kini sudah menjadi Bandara Internasional dengan beberapa prestasi yang cukup membanggakan di Asia Pasifik, -untuk kelas Bandara di bawah 2 juta penumpang pertahunnya. Tentu saja, jauh berbeda dengan saat itu.
Setelah semua selesai, kami langsung menuju kota Ambon menggunakan mobil yang memang ngetem di Bandara. Semuanya sudah ada yang urus, kita tinggal jalan. Teman-teman kita asli Ambon yang mengondisikannya. Kami cuma menunggu, mendengarkan mereka berdiskusi dengan “beta-katongnya” untuk kesepakatan-kesepakatan teknis yang tidak kami mengerti maksudnya. Kami terima beres saja, yang penting sesuai rencana.
Seperti diketahui Bandara Internasional Pattimura terletak di Negeri Laha, sekitar 35 km dari pusat kota Ambon dengan jarak tempuh sekitar kurang lebih setengah jam perjalanan menggunakan mobil dengan rute memutar melewati Jembatan Merah Putih. Relatif cepat karena tidak ada ngesot-ngesotan seperti di Jakarta yang macetnya tidak kenal waktu. Sebenarnya bisa melewati jalur laut menggunakan kapal penyeberangan antara desa Rumah Tiga dan Galala. Sekitar 20 menit saja, belum termasuk antrian dan ngangkutin barangnya.
Untunglah, sejak meninggalkan kawasan Bandara, kami disajikan pemandangan luar biasa di sepanjang perjalanan. Kami tak pakai AC, udara yang sejuk membuat badan yang tadinya capai menjadi semangat kembali. Excited. Sopirnya pun asik, tidak diam mematung tidak juga kebanyakan ngobrol. Beberapa kali membangun komunikasi dengan kami, atau kami yang memang sengaja bertanya hal-hal sederhana yang kami jumpai di sepanjang jalan.
Oh, ya, sebagai bentuk adaptasi kami belajar memanggil orang disini dengan sebutan “kakak” –dengan aksen dan intonasi yan sudah sama-sama diketahui.
Selebihnya, alunan manis musik Ambon yang kami dengar, dan sejak itu, langsung meresap di kepala saya. Lekat. Sebagai penyuka lagu-lagu klasik, saya langsung menyukainya. Lebih karena beat-nya yang santai, dibawakan dengan tenang, mengayun-ayun, landai, dan langsung dengan mudah diterima oleh telinga saya. Entah bagaimana dengan teman saya, telinga setiap orang tidak sama. Tapi bagi kalian yang suka lagu-lagunya Ratih Purwasih, Pance, Tomy J. Pissa, Betharia Sonata, pasti cocok dengan lagu-lagu khas Ambon.
Sebenarnya, ini bukan dalam rangka holiday, vacation, atau refreshing. Justru sebaliknya, ini semacam perjalanan "kedinasan", menyelesaikan survei di beberapa daerah di Maluku. Memang sudah paling benar teori yang mengatakan, bahwa pekerjaan paling enak adalah hobi yang dibayar, apalagi bisa sekalian jalan-jalan. Tentu saja capai, tapi bisa melakukan healing secara bersamaan.
Lanjut...
Belum lama perjalanan, tepatnya di desa Hative Besar, saya langsung disambut oleh ikon kebanggaan kota Ambon; monumen Ambon City of Music (ACOM). Tulisan besar berwarna orange itu bertengger dengan gagah di atas bukit yang menghadap langsung ke Teluk Ambon. Saya tak cukup lengkap mengamatinya karena mobil bergegas cukup kencang. Tapi monumen itu cukup legitimatif untuk mengakui, bahwa Ambon adalah kota musik sebagaimana Sevilla, Liverpool, Auckland, Hamamatsu, dan beberapa kota lain di dunia.
Sebelum “menyebrang” ke sisi selatan, saya melewati kampus paling top di Ambon, Universitas Pattimura (Unpatti). Di sepanjang Jln. Dr. J. Leimena ini suasana ramai dan sedikit kepadatan mulai tampak. Tak seberapa lama kemudian, saya akhirnya menikmati Jembatan Merah Putih yang menjadi ikon baru bagi Ambon ini. Menaikinya pelan-pelan dari sisi utara jembatan sambil melihat bibir Teluk Ambon yang mulai menggeliat secara pembangunan.
Waktu itu, jembatan ini baru sebulan diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi. Tepatnya, tanggal 4 April 2016. Artinya, saya termasuk orang yang merasakan jembatan ini waktu masih anget-angetnya.
Jembatan kabel pancang (cable stayed) ini membentang di atas teluk Ambon. Menghubungkan desa Hative Kecil, Sirimau, di sisi selatan dengan desa Rumah Tiga, Teluk Ambon, di sisi utara. Dalam waktu sekitar 6 tahun pengerjaannya, jembatan ini menghabiskan dana ratusan miliar yang dibangun dengan pertimbangan tertentu terutama daerah Ambon yang sebenarnya rawan gempa tektonik, termasuk yang terjadi pada tahun 2015 lalu dan membuat proses pembangunannya terhenti sejenak hingga akhirnya rampung di tahun 2016.
Sebelum akhirnya menjadi Jembatan Merah Putih, nama awal dari jembatan ini adalah Galala Poka. Namun warga dari desa Rumah Tiga merasa tidak terima karena desa Poka justru tidak dilewati oleh jembatan ini. Sementara desa Rumah Tiga yang dilewati tidak menjadi pilihan dari nama yang dipakai. Hingga akhirnya diputuskan untuk diberi nama Jembatan Merah Putih. Tak ada lagi Galala, Poka, maupun Rumah Tiga.
Dengan adanya jembatan ini, akses menuju pusat kota Ambon menjadi semakin cepat karena tidak perlu lagi memutari Teluk Ambon. Selain itu, dengan pemandangan air laut yang jernih, keindahan pemandangan di kanan-kirinya, serta bisa menikmati waktu senja yang cantik nan eksotis menjadikan jembatan ini sebagai destinasi baru yang populer di kota Ambon.
Ketika melewati jembatan itu, sebenarnya biasa saja, tapi melihat keindahan alam di kanan-kiri Jembatan Merah Putih ini, menjadikan perjalanan semakin menyenangkan. Sejuk mata memandang. Dalam imajinasi dangkal saya, segala pembangunan infrastruktur yang dilakukan pastilah terpancang harapan-harapan akan perubahan dan kemajuan. Lebih-lebih ketika berbicara soal pemerataan pembangunan, khususnya di wilayah timur Indonesia yang seringnya diabaikan. Negara sering (pura-pura) lupa dan lalai.
Semua pembangunan itu, bisa dirasakan oleh masyarakat Ambon, sejak saat itu hingga sekarang. Bagaimana kondisi Ambon sekarang?

Komentar
Posting Komentar