Langsung ke konten utama

Beta Su di Ambon, Kakak... (1)

Siang itu, untuk pertama kalinya saya menginjakkan kaki di Ambon, Maluku. Di luar, cuacanya adem karena baru saja turun hujan. Masih ada sisa-sisa basah yang menempel di sepanjang kaca Garbarata. Saya disambut dengan bunga-bunga yang diletakkan dalam pot sepanjang lorong, sebagai pemisah jalan antara yang masuk dengan yang keluar.

Saya bersama rombongan langsung menuju tempat menunggu koper dan barang-barang bawaan lainnya, di lantai bawah.

Waktu itu, Bandara Pattimura tak seindah sekarang yang sudah lebih mewah setelah revitalisasi dan beutifikasi. Perluasan kawasan Bandara sekaligus menambah jumlah garbarata. Kini sudah menjadi Bandara Internasional dengan beberapa prestasi yang cukup membanggakan di Asia Pasifik, -untuk kelas Bandara di bawah 2 juta penumpang pertahunnya. Tentu saja, jauh berbeda dengan saat itu.

Setelah semua selesai, kami langsung menuju kota Ambon menggunakan mobil yang memang ngetem di Bandara. Semuanya sudah ada yang urus, kita tinggal jalan. Teman-teman kita asli Ambon yang mengondisikannya. Kami cuma menunggu, mendengarkan mereka berdiskusi dengan “beta-katongnya” untuk kesepakatan-kesepakatan teknis yang tidak kami mengerti maksudnya. Kami terima beres saja, yang penting sesuai rencana.

Seperti diketahui Bandara Internasional Pattimura terletak di Negeri Laha, sekitar 35 km dari pusat kota Ambon dengan jarak tempuh sekitar kurang lebih setengah jam perjalanan menggunakan mobil dengan rute memutar melewati Jembatan Merah Putih. Relatif cepat karena tidak ada ngesot-ngesotan seperti di Jakarta yang macetnya tidak kenal waktu. Sebenarnya bisa melewati jalur laut menggunakan kapal penyeberangan antara desa Rumah Tiga dan Galala. Sekitar 20 menit saja, belum termasuk antrian dan ngangkutin barangnya.

Untunglah, sejak meninggalkan kawasan Bandara, kami disajikan pemandangan luar biasa di sepanjang perjalanan. Kami tak pakai AC, udara yang sejuk membuat badan yang tadinya capai menjadi semangat kembali. Excited. Sopirnya pun asik, tidak diam mematung tidak juga kebanyakan ngobrol. Beberapa kali membangun komunikasi dengan kami, atau kami yang memang sengaja bertanya hal-hal sederhana yang kami jumpai di sepanjang jalan.

Oh, ya, sebagai bentuk adaptasi kami belajar memanggil orang disini dengan sebutan “kakak” –dengan aksen dan intonasi yan sudah sama-sama diketahui.

Selebihnya, alunan manis musik Ambon yang kami dengar, dan sejak itu, langsung meresap di kepala saya. Lekat. Sebagai penyuka lagu-lagu klasik, saya langsung menyukainya. Lebih karena beat-nya yang santai, dibawakan dengan tenang, mengayun-ayun, landai, dan langsung dengan mudah diterima oleh telinga saya. Entah bagaimana dengan teman saya, telinga setiap orang tidak sama. Tapi bagi kalian yang suka lagu-lagunya Ratih Purwasih, Pance, Tomy J. Pissa, Betharia Sonata, pasti cocok dengan lagu-lagu khas Ambon.

Sebenarnya, ini bukan dalam rangka holiday, vacation, atau refreshing. Justru sebaliknya, ini semacam perjalanan "kedinasan", menyelesaikan survei di beberapa daerah di Maluku. Memang sudah paling benar teori yang mengatakan, bahwa pekerjaan paling enak adalah hobi yang dibayar, apalagi bisa sekalian jalan-jalan. Tentu saja capai, tapi bisa melakukan healing secara bersamaan. 

Lanjut...

Belum lama perjalanan, tepatnya di desa Hative Besar, saya langsung disambut oleh ikon kebanggaan kota Ambon; monumen Ambon City of Music (ACOM). Tulisan besar berwarna orange itu bertengger dengan gagah di atas bukit yang menghadap langsung ke Teluk Ambon. Saya tak cukup lengkap mengamatinya karena mobil bergegas cukup kencang. Tapi monumen itu cukup legitimatif untuk mengakui, bahwa Ambon adalah kota musik sebagaimana Sevilla, Liverpool, Auckland, Hamamatsu, dan beberapa kota lain di dunia.

Sebelum “menyebrang” ke sisi selatan, saya melewati kampus paling top di Ambon, Universitas Pattimura (Unpatti). Di sepanjang Jln. Dr. J. Leimena ini suasana ramai dan sedikit kepadatan mulai tampak. Tak seberapa lama kemudian, saya akhirnya menikmati Jembatan Merah Putih yang menjadi ikon baru bagi Ambon ini. Menaikinya pelan-pelan dari sisi utara jembatan sambil melihat bibir Teluk Ambon yang mulai menggeliat secara pembangunan.

Waktu itu, jembatan ini baru sebulan diresmikan langsung oleh Presiden Jokowi. Tepatnya, tanggal 4 April 2016. Artinya, saya termasuk orang yang merasakan jembatan ini waktu masih anget-angetnya.

Jembatan kabel pancang (cable stayed) ini membentang di atas teluk Ambon. Menghubungkan desa Hative Kecil, Sirimau, di sisi selatan dengan desa Rumah Tiga, Teluk Ambon, di sisi utara. Dalam waktu sekitar 6 tahun pengerjaannya, jembatan ini menghabiskan dana ratusan miliar yang dibangun dengan pertimbangan tertentu terutama daerah Ambon yang sebenarnya rawan gempa tektonik, termasuk yang terjadi pada tahun 2015 lalu dan membuat proses pembangunannya terhenti sejenak hingga akhirnya rampung di tahun 2016.

Sebelum akhirnya menjadi Jembatan Merah Putih, nama awal dari jembatan ini adalah Galala Poka. Namun warga dari desa Rumah Tiga merasa tidak terima karena desa Poka justru tidak dilewati oleh jembatan ini. Sementara desa Rumah Tiga yang dilewati tidak menjadi pilihan dari nama yang dipakai. Hingga akhirnya diputuskan untuk diberi nama Jembatan Merah Putih. Tak ada lagi Galala, Poka, maupun Rumah Tiga.

Dengan adanya jembatan ini, akses menuju pusat kota Ambon menjadi semakin cepat karena tidak perlu lagi memutari Teluk Ambon. Selain itu, dengan pemandangan air laut yang jernih, keindahan pemandangan di kanan-kirinya, serta bisa menikmati waktu senja yang cantik nan eksotis menjadikan jembatan ini sebagai destinasi baru yang populer di kota Ambon.

Ketika melewati jembatan itu, sebenarnya biasa saja, tapi melihat keindahan alam di kanan-kiri Jembatan Merah Putih ini, menjadikan perjalanan semakin menyenangkan. Sejuk mata memandang. Dalam imajinasi dangkal saya, segala pembangunan infrastruktur yang dilakukan pastilah terpancang harapan-harapan akan perubahan dan kemajuan. Lebih-lebih ketika berbicara soal pemerataan pembangunan, khususnya di wilayah timur Indonesia yang seringnya diabaikan. Negara sering (pura-pura) lupa dan lalai.

Semua pembangunan itu, bisa dirasakan oleh masyarakat Ambon, sejak saat itu hingga sekarang. Bagaimana kondisi Ambon sekarang?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memimpikan Tarung Bebas Ide dan Gagasan di Pilkada Pamekasan

Pilkada serentak akan dilaksanakan beberapa bulan lagi. Setelah menyelesaikan Pilpres dan Pileg, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai pemilu paling brutal, kerja-kerja elektoral sudah dimulai lagi. Tanpa jeda. Mereka yang berminat maju dengan hasrat politik yang kuat, sejak lama sudah mengepalkan tangan. Membentuk tim di darat, laut, dan udara; sosialisasi dari kampung ke kampung; memasang baliho-baliho di jalanan atau gambar-gambar  bersliweran  di media sosial; memastikan kesiapan logistik di lapangan; menyambangi tokoh-tokoh berpengaruh; serta mendekati orang-orang penting di partai; termasuk juga lobi-lobi politik "jalur langit". Partai politik menghidupkan mesinnya. Mulai dari persiapan teknis-administratif seperti penjaringan calon; membuka komunikasi lintas partai untuk menjalin koalisi; melirik-lirik dan menguntit calon potensial; memetakan kekuatan politik di lapangan; dan tentu saja kerja-kerja elektoral untuk menaikkan nilai tawar. Kita bisa mel...

“Koalisi Biru”, Bangkit Bersama untuk Pamekasan ber-Kharisma

Sampai akhirnya muncul secara samar nama pasangan KH. Kholilurrahman - Sukriyanto (Kharisma) , tak banyak yang meyakini pasangan ini akan benar-benar maju. Lebih tepatnya dunia perpolitikan di Pamekasan banyak yang meragukan pasangan ini akan mendapatkan rekomendasi dari partai. Terlebih, asumsi sumir itu kemudian dikaitkan dengan kemampuan logistik yang kerap kali dicibir. Konstelasi perpolitikan di Pamekasan memang unik, dalam beberapa sisi cenderung lebih menarik. Ada begitu banyak hal yang ternyata tidak selesai hanya dengan selesainya urusan logistik. Anda boleh saja menaburkan “rudal balistik” sedemikian rupa, tapi ada masanya itu menjadi tidak berharga ketika Anda menyalahi “negosiasi”, “parembhegen” dan “tengka” . Pada Pilpres di Kabupaten Pamekasan kemarin kita bisa melihatnya secara nyata. Lalu, ketika rekomendasi dari Gelora, Demokrat, NasDem, dan terakhir PAN benar-benar sudah di tangan, banyak kalangan yang tercengang dan kaget. Bisik-bisik terdengar, “kok, bisa, ya?”, “j...

Koperasi dan Optimalisasi Peluang Indonesia Menghadapi Krisis Global

Badai Krisis Global; Koperasi Sebagai Senjata Akhir-akhir ini, dunia global sedang menghadapi permasalahan akut yang sangat mengerikan, yakni badai krisis global. Sepanjang tahun 2011, isu krisis utang dan defisit anggaran di Yunani membuat goncangan-goncangan ekonomi terutama di pasar keuangan global. Berbagai upaya yang dilakukan oleh Negara-negara Eropa (yang tergabung dalam UE) belum bisa memulihkan kepercayaan para investor, bahkan ada semacam nada pesimistis, bahwa badai ini akan berlangsung lama.  Maka, tidak aneh ketika Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi, pertumbuhan ekonomi global tahun ini akan turun menjadi 3,4 persen, dari 3,6 persen tahun lalu. Badai belum berlalu. Inilah kalimat yang pas untuk menggambarkan kondisi perekonomian global yang serba tidak pasti saat ini, yang pada akhirnya akan menyeret Negara-negara lain di dunia untuk masuk dalam lingkaran membahayakan itu. Cina mulai tertanggu, Jepang juga bernasib sama dengan jum...